Saturday, 4 February 2012
Ketololan Syiah.
Kata seorang ayatulloh syiah oon 12,Yswadie Scholnix SAHABAT YG DIIKUTI OLEH SUNNI MURTAD! ____________________________________ Rasulullah.saw bersabda “........ Dan sesungguhnya orang2 diantara SAHABATKU dikelompokkan ke dalam golongan kiri, lalu aku katakan “MEREKA SAHABATKU.....MEREKA SAHABATKU.....!” Kemudian dikatakan kepadaku “Sepeninggalanmu MEREKA MURTAD dari aqidah mereka” ......... [HR.Bukhari, Kitab Ahaaditsu al-Anbiyaa, No.3349]20 jam yang lalu · Suka
=========================================
=========================================
Qosim Ibn 'Aly menjawab:
Saudara2 kaum Muslimin Rahimakumulloh!
Apa yg di katakan oleh spesies syiah di atas adalah wujud kebencian mereka kepada Islam. Padahal islam sudah sangat baik kepada mereka. Salah satu ulama' Islam mengajak ulama2 dunia untuk bersatu. Ahirnya terbentuklah risalah oman yg isinya agar islam dan syiah saling menghormati. Namun syiah melanggar kesepakatan itu. Syiah tetap saja menghina tokoh2 islam. Apapun akan mereka lakukan termasuk memelintir makna Hadits.
Tema kita kali ini adalah Siapakah sahabat Nabi yg murtad?
Sebelumnya mari kita cari tahu arti sahabat. Sahabat secara Istilah adalah orang2 beriman yg bertemu Nabi dan mati dalam keadaan Iman. Istilah ini baru muncul setelah Nabi meninggal. Dengan kata lain di jaman Nabi istilah belum ada. Maka kata sahabat yg di kehendaki oleh hadits adalah sahabat secara bahasa.Sahabat secara bahasa berarti Al mulazim. Kalo kita terjemahkan maka al mulazim berarti pengikut.( Mu'jam mufrodati alfazil quran hlm 308. Adabul katib hlm 180. Ishlahil Mantiq hlm 400. Khozanatul adab Juz 8 hlm 210. Lisanul Arob volun shod. al mu'jam alwasit volum shod. Kamus munawir hlm 1266).
Rosululloh Saw bersabda:MEREKA SAHABATKU....yg di maksud adalah sahabat atau pengikut Nabi ketika Nabi Masih Hidup. Setelah Nabi meninggal sebagian mereka ada yg Murtad; ada yg kembali menjadi musyrik, ada yg mengikuti musailamah al kadzab dan ada yg menolak membayar zakat. Mereka kemudian di perangi oleh sahabat Nabi yg tidak murtad, seperti, Abu bakar, Umar, Ustman, Aly dan kaum Muhajir serta Ansor.(Kanzul Umal juz 3 hlm 142. Al bidayah juz 6 hlm 310).
Dari realitas sejarah di atas dapat di ketahui bahwa sahabat/ pengikut nabi ada yg murtad sepeninggalan Nabi.Oleh karena itu Rasulullah.saw bersabda “........ Dan sesungguhnya orang2 diantara SAHABATKU dikelompokkan ke dalam golongan kiri, lalu aku katakan “MEREKA SAHABATKU.....MEREKA SAHABATKU.....!” Kemudian dikatakan kepadaku “Sepeninggalanmu MEREKA MURTAD dari aqidah mereka” ......... [HR.Bukhari, Kitab Ahaaditsu al-Anbiyaa, No.3349]. Hadis ini benar, sebab setelah Nabi meninggal ada pengikutnya yang murtad.
Namun Ada sahabat nabi yg memerangi mereka. Oleh karena itu Rosululloh Saw bersabda:
Sesungguhnya Allah telah memilih sahabat-sahabat untuk ku, Dia menjadikan mereka sebagai sahabat-sahabatku, mertua-mertuaku dan menantu-menantuku. Nanti akan muncul satu golongan selepas aku akan memburuk-buruk dan memaki hamun mereka.Sekiranya kamu menemui mereka, janganlah kamu mengawini mereka, janganlah kamu makan dan minum bersama mereka, janganlah kamu berjemaah bersama mereka dan jangan kamu menyembahyangkan jenazah mereka. [Ali al-Muttaqi, Kanz al-‘Ummal, jil 11, m.s : 540 ].
Dalam hadits ini yg di maksud dg sahabat2 ku adalah kaum Muhajir dan Ansor. Yang di maksud Mertuaku adalah Abu Bakar dan Umar. Dan Yang di maksud menantuku Adalah Usman Dan Aly Rodiyalloh 'anhum.
Melihat realitas ini, Ulama ahlu sunah membuat takrif tentang sahabat Nabi, yaitu oang2 yg beriman yg bertemu Nabi dan mati dalam keadaan Iman.Kaum Muhajir dan Ansor di bawah kepemimpinan Abu bakar memerangi mereka yg Murtad. Itulah sahabat2 nabi yg di ikuti oleh orang islam.
Pertanyaannya:dari dua macam sahabat nabi di atas, Siapakah yang di ikuti oleh syiah oon 12?.
SYIAH PERCAYA AL-QUR'AN? (Tanggapan untuk Kebohongan Haidar Bagir dalam Harian Republika 27 Januari 2012)
SYIAH PERCAYA AL-QUR'AN?
(Tanggapan untuk Kebohongan Haidar Bagir dalam Harian Republika 27 Januari 2012)
Ir Haidar Bagir adalah Presiden Direktur Penerbit MIZAN, sebuah penerbit yang bergerak dalam menerbitkan buku-buku Syiah dan orang-orang yang dekat dengan Syiah. Haidar Bagir, meskipun menjadi pengikut Syiah sejak lama, tepatnya sejak Syiah baru masuk ke Indonesia, dan penerbitnya banyak menerbitkan buku-buku Syiah, ia tetap saja menjadi orang Syiah yang tidak mengerti Syiah. Bagaikan ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi. Tetapi meskipun ia tidak mengerti Syiah, ia selalu ingin tampil seolah-olah faham betul semua ajaran Syiah, dan bahkan ajaran Sunni yang tidak banyak dipelajarinya.
Dalam catatan opini di harian Republika 27 Januari 2012 dan beberapa hari sebelumnya, Haidar Bagir menulis sebuah opini yang tidak ilmiah dan menjadi bahan tertawaan para pakar keislaman di tanah air. Pasalnya, dalam catatan tersebut, Haidar Bagir berupaya melabelkan ideologi terjadinya tahrif al-Qur’an terhadap kaum Sunni, dengan sengaja atau tidak sengaja, berangkat dari pemahaman atau karena tidak paham, mengutip riwayat-riwayat yang terdapat dalam bab nasikh mansukh dalam kitab-kitab ilmu Tafsir dan Tafsir kaum Sunni seperti al-Itqan karya as-Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir, al-Qurthubi dan lain-lain.
Sebagaimana telah dimaklumi oleh para siswa pada tingkat tsanawiyah di kalangan kaum Sunni, bahwa teori nasikh mansukh itu adalah terjadinya penghapusan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh Tuhan sendiri terhadap ayat-ayat yang telah selesai masa berlakunya. Dalam hal ini, ayat-ayat yang dimansukh, baik dari segi hukum maupun bacaannya, dihapus dalam mushhaf al-Qur’an, bukan atas inisiatif manusia, akan tetapi semata-mata kehendak Allah yang menurunkan al-Qur’an. Tentu saja hal ini berbeda dengan prinsip dan keyakinan terjadinya tahrif al-Qur’an di kalangan Syiah Imamiyah, yang secara terus terang Syiah meyakini bahwa al-Qur’an yang ada sekarang tidak lengkap, dan telah dipalsu oleh manusia.
Akan tetapi, karena keyakinan tahrif al-Qur’an ini menjadi bumerang bagi penganut Syiah sendiri, dan menurunkan rasa percaya diri mereka secara drastis untuk mengaku sebagai seorang Muslim, tidak terkecuali Haidar Bagir, Syiah berupaya menepis ideologi tahrif al-Qur’an tersebut dengan dua cara.
Pertama, dengan menyatakan bahwa tahrif al-Qur’an di kalangan Syiah hanya terdapat dalam riwayat-riwayat lemah yang tidak menjadi keyakinan Syiah secara resmi. Tentu saja, dalam hal ini Syiah sulit sekali menyikapinya ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa para ulama Syiah sejak masa mutaqaddimin, seperti al-Kulaini, al-Thusi, Ibnu Babawaih, al-Jazairi, al-Majlisi, sampai yang muta’akhkhirin seperti seperti al-Khau’i dan Khumaini, secara terus terang mengakui kepalsuan al-Qur’an yang ada sekarang.
Kedua, Syiah berupaya melabelkan fitnah ideologi tahrif al-Qur’an terhadap kaum Sunni, dengan mengutip ayat-ayat yang telah dimansukh oleh Allah sendiri, ke dalam wilayah tahrif versi Syiah. Tentu saja dalam hal ini, Syiah hanya menjadi bahan tertawaan kaum pelajar dari kalangan Sunni, karena tidak bisa membedakan antara makna tahrif dan mansukh. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Haidar Bagir, tokoh Syiah terkemuka dari Bandung. Berikut tanggapan kami terhadap tulisan Haidar Bagir, yang membuat pembaca tertawa karena lucu.
HAIDAR BAQIR BERKATA:
“Pertama, mengenai adanya pendapat di kalangan Ahlusu nah yang menyata kan bahwa Alquran yang kita miliki sekarang tidak lengkap. Pandangan ini--sekali lagi saya tegaskan, sudah tentu tak mewakili sikap Ahlusunah--, juga terdapat pada kitab-kitab hadis sahih maupun kitab-kitab standar Sunni yang posisinya sama kuat dibanding kitab hadis Syiah yang menukil pandangan sejenis.”
TANGGAPAN:
Ada perbedaan antara kutipan kaum Sunni dari kitab-kitab Syiah yang memang secara tegas dan tanpa tedeng aling-aling menyatakan terjadinya tahrif (distorsi) dalam al-Qur’an yang ada sekarang, dan kutipan orang-orang Syiah seperti Haidar Bagir dari kitab-kitab Sunni, yang sama sekali tidak berkaitan dengan tahrif. Perlu diketahui, bahwa tahrif itu artinya suatu perubahan terhadap teks al-Qur’an yang dilakukan oleh manusia. Sementara bukti-butki yang dikutip dari kitab-kitab Sunni oleh Haidar Bagir, justru terkait dengan ayat-ayat nasikh dan mansukh. Dalam hal nasikh mansukh, yang melakukan penghapusan itu justru Tuhan sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam ayat al-Qur’an, “ma nansakh min ayatin aw nunsiha na’ti bikhorin minha au mitsliha”.
HAIDAR BAGIR MENULIS:
Berikut ini sebagian di antaranya yang belum disebut Saudara Fahmi Salim.
Diriwayatkan dalam, antara lain, Shahih Bukhari, bab “Syahadah“ berbunyi, “ind al-hakim fi wilayah al-Qadha“, dan dinukil dalam Al-Itqan karya Imam Suyuthi dan Tafsir Ibnu Katsir, bahwa Sayidina Umar bin Khattab mengatakan, “Apabila bukan karena orang-orang akan mengatakan bahwa Umar menambah nambah ayat ke dalam Kitabullah, akan aku tulis ayat rajam dengan tanganku sendiri.“ Bahkan, dalam Al-Itqan dan beberapa kitab lain disebutkan bahwa ayat rajam yang hilang itu berbunyi, “Idza zana syaikhu wa syaikhatu farjumuhuma al-battatan nakalan minallah, wallahu `azizun hakim.“
TANGGAPAN:
Di sini jelas sekali adanya intervensi dari saudara Haidar Bagir terhadap pernyataan Khalifah Umar terkaita ayat rajam. Para ulama seperti al-Imam as-Suyuthi mengutip pernyataan Umar tersebut dalam konteks penjelasan ayat yang dimansukh secara tilawah (bacaan), tetapi tetap berlaku secara hukum.
Ayat rajam yang dikutip oleh Haidar Bagir tersebut termasuk ayat yang telah dimansukh secara tilawah tetapi hukumnya tetap berlaku. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab Tafsir, termasuk Tafsir Ibnu Katsir dan al-Itqan, yang menjadi rujukan Haidar Bagir. Atau Haidar Bagir tidak merujuk secara langsung. Ia hanya merujuk dari kitab-kitab Syiah yang banyak berbohong dalam mengutip dari kitab-kitab Sunni. Realita bahwa ayat rajam telah di-mansukh secara tilawah juga telah diperkuat dengan riwayat Abu Ya’la yang dikutip dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa ketika ada seorang sahabat meminta kepada Nabi SAW untuk menuliskan ayat rajam, beliau tidak berkenan. Tentu karena ayat tersebut telah dimansukh.
hAIDAR BAGIR BERKATA:
Selain hadis tentang ayat Alquran dalam simpanan Siti Aisyah yang hilang itu, terdapat pula riwayat dalam Musnad Ahmad dan dinukil dalam Al-Itqan karya Imam Suyuthi bahwa Siti Aisyah mengatakan, “Pada masa Nabi, surah al-Ahzab dibaca sebanyak 200 ayat, tetapi ketika Usman menulis mushaf, ia tidak bisa mendapatkannya kecuali yang ada sekarang.“ Seperti kita ketahui bahwa surah al-Ahzab yang ada di mushaf sekarang ini adalah 73 ayat. Berarti menurut riwayat itu ada 127 ayat yang hilang dari surah ini.
TANGGAPAN:
Riwayat di atas tidak ada dalam Musnad Ahmad, sebagaimana yang diklaim oleh Haidar Bagir. As-Suyuthi menukilnya dari Fadha’il al-Qur’an karya Abu ‘Ubaid, dalam bab ayat-ayat yang telah dimansukh. Di sisi lain, dalam sanad hadits di atas terdapat perawi yang bernama Ibnu Lahi’ah, yang haditsnya didha’ifkan oleh para ulama. Dan seandainya hadits tersebut shahih, maka maknanya tidak berkaitan dengan tahrif al-Qur’an seperti yang dipahami oleh Haidar Bagir, dimana tahrif itu terjadi melalui intervensi tangan manusia. Dalam redaksi hadits tersebut tertulis, “falamma kataba ‘Utsman al-Mashahif, lam yaqdir minha illa ma huwa ‘alaihi al-an (ketika Utsman menulis banyak mushhaf, beliau tidak mampu menulis kecuali yang ada sekarang).” Kata tidak mampu, atau lam yaqdir dalam redaksi hadits di atas, oleh Haidar Bagir diartikan pada ketidakmampuan secara hissi (fisik) dengan artian bahw ayat-ayat tersebut telah hilang. Tentu saja ini pengertian yang keliru. Karena yang dimaksud lam yaqdir atau tidak mampu dalam hadits tersebut, adalah tidak mampu secara syar’i dalam artian ayat-ayat tersebut telah dimansukh oleh syara’ sendiri.
HAIDAR BAGIR BERKATA:
Sejalan dengan itu, Tafsir alQurthubi menukilkan hadis dari Ubay bin Ka'b yang menyebut jumlah ayat dalam surah yang sama adalah 286.
TANGGAPAN:
Terjemahan di atas tidak sesuai dengan redaksi yang asli dalam al-Itqan maupun Tafsir al-Qurthubi. Aslinya, Ubay bin Ka’ab bertanya kepada Zirr, “Berapa ayat jumlah surat al-Ahzab?” Zir menjawab: “73 ayat”. Ubay berkata: “Sebenarnya jumlah ayat al-Ahzab sama dengan surat al-Baqarah atau lebih panjang.” Hanya saja, karena surat al-Baqarah jumlah ayatnya 286, oleh Haidar Bagir, disimpulkan bahwa surat al-Ahzab juga 286. Para ulama, seperti al-Qurthubi dalam Tafsirnya dan al-Suyuthi dalam al-Itqan memahami ayat-ayat yang hilang tersebut bukan sebagai ayat-ayat yang disembunyikan oleh para sahabat, tetapi ayat-ayat yang telah dihapus atau dimansukh oleh Allah sendiri.
HAIDAR BAGIR BERKATA:
Rawi yang sama sebagaimana dinukil Al-Itqan menyebut bahwa jumlah surah Alquran adalah 116, bukan 114 yang kita miliki sekarang karena adanya dua surah yang hilang dan disebut-sebut bernama AlHafd dan al-Khal'.
TANGGAPAN:
Dalam kitab al-Itqan, riwayat tersebut sudah dijelaskan secara gamblang berdasarkan riwayat dari para sahabat, bahwa kedua surat tersebut termasuk surat yang dimansukh. Akan tetapi Haidar Bagir, seperti telah menjadi kebiasaan buruknya, tidak menjelaskan hal tersebut secara proporsional.
HAIDAR BAGIR BERKATA:
Di sisi lain, bantahan para ulama Syiah dari kalangan mutaqaddimin dan muta'akh-khirin terhadap isu adanya perubahan/ketidaklengkapan Alquran ini dapat dibaca di banyak tulisan dan pandangan para ulama Syiah sendiri.
TANGGAPAN:
Dalam literatur Syiah sendiri, dari sekian banyak ulama mutaqaddimin yang berpendapat tidak adanya tahrif dalam al-Qur’an hanya tiga orang, yaitu al-Shaduq, al-Murtadha dan al-Thabarsi sebagaimana dikemukakan oleh Ni’matullah al-Jazairi dalam al-Anwar al-Nu’maniyyah juz 2 hal. 246. Hanya saja, menurut al-Jazairi sendiri, ketiga ulama Syiah yang mengatakan tidak adanya tahrif dalam al-Qur’an tersebut sedang bertaqiyyah. Artinya, menurut al-Jazairi, sebenarnya ketiga orang ulama tersebut juga meyakini adanya tahrif dalam al-Qur’an.
HAIDAR BAGIR BERKATA:
Terbatasnya tempat hanya memungkinkan penulis mengungkapkan pandangan, Ayatullah Khomeini--antara lain dalam Tahdzib al-Ushul--yang mengatakan, “Semua pernyataan tentang tahrif ini dapat segera ditunjukkan sebagai (berdasar hadis-hadis) lemah (daif) ayau majhul (rawinya tak dikenal.“
TANGGAPAN:
Imam Khumaini sendiri mengakui terjadinya tahrif dalam al-Qur’an dalam kitabnya al-Qur’an Bab Ma’rifat Allah, hal 50. Mungkin pernyataan Khumaini yang dikutip oleh Haidar Bagir itu, ketika Khumaini sedang bertaqiyyah.
HAIDAR BAGIR BERKATA DALAM BEBERAPA HARI SEBELUMNYA:
Ambil saja beberapa hadis dalam beberapa kitab shahih yang menyatakan hilangnya satu ayat yang hanya ada di simpanan Siti A’isyah karena di makan kambing.
TANGGAPAN:
Riwayat di atas tidak ada dalam kitab-kitab shahih. riwayat di atas dikutip oleh al-Qurthubi dalam Tafsir-nya sebagai berikut: “adapun adanya tambahan riwayat bahwa ayat tersebut terdapat dalam lembaran yang tersImpan di dalam rumah ‘Aisyah, lalu dimakan kambing, maka riwayat ini termasuk buatan kaum malahidah (kaum kafir) dan rawafidh (kaum Syiah).” Hanya saja pernyataan di atas didistorsi oleh saudara Haidar Bagir. Jadi, al-Qurthubi mengutip riwayat tersebut sebenarnya bermaksud menjelaskan bahwa riwayat tersebut bikinan orang kafir dan orang Syiah, tapi Haidar Bagir melakukan tahrif, seperti telah menjadi kebiasaan buruk kaum Syiah, bahwa riwayat tersebut terdapat dalam kitab-kitab shahih. Allah akan melaknat para pembohong dalam urusan agama. Semoga Haidar Bagir segera mendapat hidayah dari Allah dan meninggalkan agama Syiah Imamiyah.
Sumber Catatan Bindhere Saot El-Madury
Friday, 3 February 2012
Perbedaan Imam Mahdi Versi Ahlu Sunah dan syiah
Perbedaan Antara Mahdi Ahli Sunnah dan Mahdi Syi’ah
i.
Mahdi Ahlus Sunnah bernama Muhammad bin Abdillah sesuai dengan namaNabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan nasabnya. Sedangkan Mahdi Syi’ahnamanya Muhammad bin Hasan Al-‘Askari.ii.
Mahdi Ahlus Sunnah dari keturunan Al-Hasan bin ‘Ali. Sedangkan Mahdi Syi’ahdari keturunan Al-Husain bin ‘Ali.iii.
Mahdi Ahlus Sunnah kelahiran dan kehidupannya seperti layaknya manusiayang lain. Sedangkan Mahdi Syi’ah dikandung dan dilahirkan dalam waktusemalam, lalu masuk sirdab pada umur 9 tahun, sementara telah berlalu didalamnya waktu sepanjang 1,150 Hijrah tahun lebih.iv.
Mahdi Ahlus Sunnah muncul untuk menolong muslimin secara umum, tanpamembedakan jenis mereka. Sedangkan Mahdi Syi’ah hanya untuk Syi’ahRafidhah, bahkan sangat benci kepada bangsa Arab, terlebih Quraisy.v.
Mahdi Ahlus Sunnah mencintai para shahabat dan ibu-ibu kaum mukminin(istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Sementara Mahdi Syi’ah sangat
4 |Page
membenci mereka, bahkan menyiksa mereka setelah mengeluarkan merekadari kubur mereka.vi.
Mahdi Ahlus Sunnah mengamalkan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallamdan memberantas bid’ah. Sementara Mahdi Syi’ah mengajak kepada agamabaru dan kitab yang baru.vii.
Mahdi Ahlus Sunnah memakmurkan masjid. Sementara Mahdi Syi’ahmenghancurkan masjid. Ia menghancurkan Masjidil Haram Ka’bah, masjidNabawi, dan seluruh masjid.viii.
Mahdi Ahlus Sunnah berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan Mahdi Syi’ah berhukum denganhukum keluarga Dawud.ix.
Mahdi Ahlus Sunnah muncul dari negeri timur. Sementara Mahdi Syi’ahmuncul dari sirdab Samarra. Syiah di Iran juga meyakini Imam Mahdi merekaakan lahir di Jamkaran.x.
Mahdi Ahlus Sunnah benar-benar ada, seperti terdapat dalam hadits danpenjelasan ulama. Sementara Mahdi Syi’ah adalah khayalan dan tidak akanmuncul sampai bila pun. (diringkas dari kitab Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/255-257)xi.
Mahdi Ahlus Sunnah datang membawa keadilan. Sementara Mahdi Syi’ahdatang membawa malapetaka dan kehancuran.
1
Siapa pun dari kalangan pembaca yang meneliti fakta-fakta yang telah dibentangkandiatas akan menyedari betapa berbezanya aqidah Syiah dalam permasalahan ImamMahdi berbanding dengan apa yang diyakini oleh Ahli Sunnah berdasarkan nas-nasyang diriwayatkan oleh Imam Mahdi. Perbezaan ini bukanlah suatu perkara yang pelik bagi mereka yang mengkaji tentang Syiah samada tentang aqidah, amalan dantindakan-tindakan mereka yang ternyata amat berbeza dengan Sunnah dan Syiah amatdekatnya dengan ajaran yahudi. Selanjutnya penulis bentangkan ciri-ciri Dajjal dankaitan dengan Mahdi yang diyakini oleh Syiah
Aku berlindung kepada Alloh Dari Fitnah Syiah Dajjal Yang Terkutuk
Sesungguhnya Dajjal itu memang susah untuk dikenali. Manusia hanya boleh mengenali Dajjal apabila seseorang itu meneliti dan mengkaji secara menyeluruh fakta-fakta dalam al-Quran, hadith, sirah dan lain-lain.Kami memperoleh penegasan tentang penyataan bahawa Dajjal itu sukar dikenali adalah berdasarkan kajian dalam hadith di bawah.
“Barangsiapa yang mendengar nama Dajjal hendaklah ia berpaling darinya kerana demi Allah, sesungguhnya apabila ia menemuinya dan dia menganggap bahawa dirinya adalah seorang mukmin maka ia akan mengikutinya (Dajjal tersebut) dengan segala syubhat (kebatilan) yang dia bawa.”
Hadis di atas sahih riwayat Imam Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari Imran bin Hussain dan disahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam kitabnya Al-Misykat, hadith no:5488.
Hadis lain mengatakan:
“Dajjal akan diikuti oleh 70,000 Yahudi dari Isfahan, mereka memakai (jubah) al-Tayalisah (Persian shawls – jubah orang-orang Parsi (Syiah hari ini) yang tidak berjahit), .” [ rujuk Sahih Muslim].Tanpa kita sedari bandar Isfahan yang merupakan bandar Yahudi di Iran ini merupakan pusat kepada aktiviti nuclear bagi negara Iran hari ini dan juga merupakan pusat penyelidikan senjata berbahaya Iran itu yang menurut keyakinan Israel sendiri, Iran bakal berjaya menyiapkannya aktiviti nuklearnya tanpa masalah yang besar. Ini membuktikan tentera Dajjal sedang dipersiapkan oleh orang-orang Parsi yang merupakan bakal pengikut Dajjal bagi menyambut kemunculan Dajjal nanti.
Pada tahun 1977 setelah sekian lama berada di bawah sistem pemerintahan beraja, Iran mula memasuki era baru di dalam pemerintahannya apabila revolusi yang dicetuskan oleh Khomeini (seorang tokoh ulung Syiah di abad ini) dengan teori “walayatul faqihnya” berjaya menumbangkan kerajaan Shah Reza Pahlavi. Umat Islam di mana-mana mengalami satu kejutan dalam dunia politiknya apabila negara yang ditegakkan itu berasaskan agama Islam dengan slogan-slogannya yang kelihatan Islamik dan proganda-proganda demi kesatuan umat Islam dan masa depan mereka yang cemerlang.
Sebelum pergi lebih jauh, terlebih dahulu semestinya kita mempastikan sama ada teori “walayatul faqih” itu bersesuaian dengan agama Islam sehingga boleh dikatakan negara yang tegak di atas teori itu adalah tertegak di atas asas –asas Islam atau ianya bersesuaian dan bertepatan dengan aqidah dan ajaran Syiah Imamiyyah Itsana Asyariyyah yang dianuti oleh Khomeini sendiri dan majoriti rakyat Iran hari ini.
Untuk mengetahui teori “walayatul faqih” itu bersesuaian dengan ajaran Syiah Imamiyyah perlulah kita merujuk kepada para ulamak Syiah sendiri kerana merekalah yang berhak menentukan perkara ini. Antara ulamak Syiah yang boleh dikemukakan sebagai contoh ialah Ayatollah Hasan Thabathabdi Al Qummi. Kerana menentang teori “walayatul faqih” yang dikemukakan oleh Khomeini, beliau terpaksa menderita berbagai-bagai tekanan dan penindasan dari pihak kerajaan Khomeini sehingga dilarang bercakap menerusi telefon , menemui sahabat handai dan kaum kerabat, begitu juga dihadkan kepadanya menggunakan air dan eletrik , juga telah dihalang dari mendapat rawatan di hospital.
Beliau berpendapat tidak ada orang yang layak memegang wilayah `aammah (kekuasaan umum merangkumi sudut pemerintahan, perekonomian, ketenteraan dan sebagainya) selain daripada orang-orang yang maksum seperti para Nabi dan para Imam, kerana selain mereka biar bagaimanapun alimnya, wara’nya, bertakwanya dan adilnya namun ia tetap tidak terlepas daripada kelalaian dan kekeliruan, lupa atau mungkin dipengaruhi oleh sentimen. Adalah mustahil bagi Allah swt menentukan ketaatan kepada mana-mana kerajaan atau pemerintah yang tidak terpelihara daripada dosa dan kelalaian itu.
Menurut pendapat beliau lagi, jika keputusan faqih mesti ditaati maka akan timbul kekacauan dan haru biru dalam masyarakat yang tidak mungkin terkawal kerana tidak mungkin kesemua faqih itu bersepakat dalam sesuatu perkara. Jadi pendapat fakih yang manakah di antara sekian ramai faqih itu mesti dipegang dan ditaati? Tentu sekali ketaatan seperti ini tidak diharuskan.
Selain daripada itu tabiat semulajadi manusia, menurut beliau, adalah (manusia itu) benar-benar derhaka. Seandainya seorang faqih itu betul-betul seorang yang adil, beragama dan jujur sehingga dapat kita katakan sifat–sifat yang ada padanya itu akan menegahnya daripada melakukan khilaf dengan kehendak Allah dengan sengaja, tetapi mungkin ia melakukanya dengan kelalaian, bahkan mungkin ia melakukan banyak sekali percanggahan kerana kelekaan dan terlupa. Ini bererti tindak tanduknya itu menyalahi kehendak Allah dan kemaslahatan umum negara Islam.
Kata beliau lagi, “Sesungguhnya saya tidak dapat menerima dengan apa cara sekalipun pencabulan dan penghinaan terhadap aliran Syiah dan saya tidak membenarkan mana-mana kediktatoran berlaku di dalam dunia ini”.
Akhir sekali di dalam kenyataan akhbar “Kayhan” yang diterbitkan di London beliau menyatakan secara terbuka, katanya “Saya mengisytiharkan kepada sekelian ahli-ahli fikir dan cerdik pandai di dunia ini dan kepada sekelian umat Islam bahawa banyak tindak tanduk yang berlaku selepas terbentuknya Republik (Iran) yang “bukan Islam” atas nama Islam ini langsung tidak mempunyai hubungan dengan Islam yang sebenar dan ugama yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan bertentangan dengan sekelian nas-nas daripada Tuhan yang telah sampai kepada kita. Saya mengisytiharkan kepada sekelian makhluk Allah bahawa tidak ada sesiapapun yang berhak untuk mengkritik Islam dengan sebab tindak-tanduk tindak-tanduk yang tidak berperikemanusiaan dan tidak berakhlak yang telah mereka (penguasa Iran) lakukan kerana tindakan–tindakan itu langsung tidak ada kena mengenanya dengan Islam, (lihat Naqdu Walayatil Faqih-Muhammad Maalullah, m.s. 27 & 28, 30 & 31)
Dr. Musa Al Musavi seorang cendiakiawan Syiah berpendapat “walayatul faqih” adalah satu bidaah yang dihubungkan dengan penguasa–penguasa yang mendakwa mereka sebagai wakil-wakil Imam Mahdi di zaman Ghaibah Kubra (Keghaiban Besar). Fikrah ini sebetulnya berpunca daripada fikrah huluhiyyah (incarnation) yang telah meresapi pemikiran Islam daripada pemikiran orang-orang Kristian yang berpendapat bahawa Allah telah menjelma di dalam Al Masih dan Al Masih pula telah menjelma di dalam Pope Agung.
Di zaman terdapatnya mahkamah-mahkamah ‘Inquisition’ di Sepanyol, Itali dan sebahagian wilayah Peranchis, Pope-Pope menghukum orang-orang Kristian dan lain-lain atas nama kekuasaan ketuhanan yang mutlak, di mana ia memerintahkan supaya seseorang dihukum gantung, dibakar atau dipenjarakan.
Bid’ah ini telah meresap ke dalam pemikiran Syiah selepas Ghaibah Kubra dan telah bertukar menjadi aqidah bilamana para ulamak Syiah sibuk membuat perincian tentang Imamah dengan mengatakan Imamah ialah suatu jawatan ketuhanan yang diberikan kepada Imam sebagai pengganti kepada Rasulullah s.a.w. dan oleh kerana Imam itu hidup (Imam Ke-12) tetapi ia terlindung daripada penglihatan mata kasar, maka dengan ghaibnya itu, tidaklah ia kehilangan kuasa ketuhanannya tetapi kuasanya itu berpindah kepada wakil-wakilnya kerana wakil itu menepati orang yang diwakili di dalam semua perkara (As Syiah Wa At Tashih, m.s. 70)
Pada muka surat yang lain di dalam buku yang sama, Dr.Musa Al Musavi berkata, “Konsep walayatul faqih” bertentangan dengan nas Al Quran dan sesiapa yang menentang nas Tuhan , ia akan dikira terkeluar dari Islam.” (m.s. 73)
Sementara Ayatollah Syariat Madari, guru kepada Khomeini sendiri yang telah mengurniakan gelaran “Ayatollah” kepada Khomeini, dan merupakan seorang tokoh ulamak atau faqih yang sangat besar dalam istilah mereka. Beliau telah memberi sumbangan yang besar dan memainkan peranan yang penting dalam mencetuskan revolusi Iran itu. Dalam umurnya yang telah menjangkau 80 tahun, telah diserbu oleh algojo-algojo Khomeini kerana menentang pendapatnya berhubung dengan” walayatul faqih”. Ayatollah Syariat Madari juga seperti tokoh-tokoh Syiah yang lain membataskan kekuasaan faqih dalam bidang-bidang tertentu sahaja. Khomeini telah menghantarkan 10,000 orang algojo-algojonya supaya menyerbu rumah Ayatollah Syariat Madari untuk membunuh beliau dan pengikut-pengikutnya-(Dr.Musa Al Musavi-At Tsauratuu Al Baaisah hal.51),
Demikianlah kita lihat teori “walayatul faqih” itu adalah satu teori yang dikemukakan dan dipraktikkan oleh Khomeini tetapi ditentang dengan hebat oleh tokoh-tokoh ulamak Syiah dan mereka tidak mahu menerima teori itu sebagai sebahagian dari ajaran Syiah.
Untuk mengetahui sama ada teori “walayatul faqih” itu bersesuaian dengan agama Islam yang sebenar yang dianuti oleh majoriti penganut agama Islam di dunia ini, perlulah kita membandingkan di antara aqidah Syiah anutan Khomeini dengan akidah Islam yang dianuti oleh majoriti umat Islam itu atau dengan kata lain, akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Walayatul faqih adalah satu teori penubuhan negara yang dikemukakan oleh Khomeini dan dikuliahkan oleh beliau sekian lama kepada penganut-penganut Syiah dengan alasan Naib Imam boleh menggantikan Imam dalam menubuhkan sesebuah negara dan penubuhan itu dianggap sah setelah mereka putus asa pada hakikatnya dengan “kemunculan Mahdi”yang tak kunjung datang (Khomeini–Al Hukumah Al Islamiyyah, m.s. 74) . Sedangkan mengikut akidah Syiah, tidak ada sebuah kerajaan Syiah pun yang boleh ditubuhkan atau ditegakkan sebelum kemunculan Imam Mahdi.
Mengikut Syiah, setiap negara yang ditegakkan sebelum kemunculan Imam Mahdi adalah tidak sah walaupun pembawanya berada di atas jalan yang benar. Al Kulaini meriwayatkan dari Abi Bashir dari Abi Abdillah (Jaafar Shadiq) bahawa beliau berkata, “Setiap orang yang menjulang bendera sebelum Qaaim (Al Mahdi) adalah taghut yang disembah selain dari Allah SWT.” (Ar Raudhah Min Al Kafi, m.s.295)
Pensyarah kitab Al Kafi, Maula Muhammad Soleh Al Maazan Daraani (wafat 1080 H) di dalam syarahnya terhadap kitab Al Kafi yang dianggap sebagai syarah Al Kafi yang muktamad menyebutkan bahawa, “walaupun orang yang menjulangnya itu menyeru kepada kebenaran” (Syarah Al Kafi ,jilid 2 m.s. 371)
Muhammad Husain Al Kasyifin Ghitha’ juga menyatakan kepercayaan Syiah tentang terbatasnya wilayah `aammah kepada para imam sahaja. Kata beliau, “Syiah Itsna Asyariyyah mempercayai wilayah umum (kekuasaan umum) terhadap Islam tergantung pada beberapa orang yang termaklum nama- nama dan bilangan mereka.Mereka telah di pilih oleh Allah sebagaimana Ia memilih para Nabinya.”(Ashlu As Syiah Wa Ushuluha, m.s. 58)
Sementara Ayatollah Al Uzma Muhammad Al Husaini Al Baghdadi An Najafi pula mengatakan, “Sesungguhnya terlalu banyak riwayat daripada para imam yang mengharamkan pemberontakkan terhadap musuh-musuh dan sultan-sultan yang sezaman dengan mereka” (Wujubu An Nahdhah li Hifdzi Al Baidhah, m.s. 93)
Khomeini & Aqidah Syiah
Di dalam beberapa perkara , Khomeini memang telah menyalahi ajaran Syiah dipegang oleh majoriti Syiah Imamiyyah Itsna Asyariyyah. Antaranya ialah teori walayatul faqih seperti yang telah dikemukakan sebelum ini. Kerana itu adalah benar jika dikatakan ajaran dan`trend’ yang dibawa oleh Khomeini ini merupakan satu pecahan baru kepada aliran Syiah Imamiyyah Itsna Asyariyyah dan boleh kita namakan dengan “Khomeinism”. Tetapi pada keseluruhannya Khomeini tetap berpegang teguh dengan aqidah dan ajaran Syiah yang diterima di kalangan Syiah Imamiyyah Itsna Asyariyyah secara turun temurun. Boleh dikatakan tidak ada perbezaan di dalam aqidah dan ajaran Syiah yang diterima oleh generasi Syiah yang dahulu dengan Syiah yang diterima oleh Khomeini ini. Kalaupun ada , hanyalah dari segi mempraktikkan konsep taqiyyah dengan seluas-luasnya sampai ke peringkat negara dan antarabangsa. Antara yang dapat kita lihat dengan ketara sekali ialah aqidah Khomeini tentang Imamah, ismah, takrif Al Quran, takfir sahabat , taqiyyah, mut`ah dan lain –lain lagi.
Syiah dahulu mempercayai Imamah, iaitu kepercayaan bahawa Imam-imam dilantik dan ditentukan oleh Allah s.w.t. Imamah merupakan salah satu rukun iman. Sesiapa yang tidak percaya kepada rukun ini, tidaklah ia termasuk golongan orang-orang mukmin. Khomeini juga mempercayai demikian.
Di dalam kitabnya Al Hukumah Al Islamiyyah di bawah tajuk “Wilayah Takwiniyyah” Khomeini berkata, “Sesungguhnya di antara aqidah aliran kita yang asasi dan terpenting ialah para Imam (Dua Belas) kita mempunyai darjat dan kedudukan yang tidak sampai kepadanya Malaikat Muqarrab dan Nabi lagi Rasul (Al Hukumah Al Islamiyyah, m.s. 52 ). Di tempat yang lain Khomeini menulis, “Pengajaran –pengajaran para Imam sama seperti pengajaran Al Quran, tidak khusus untuk generasi tertentu malah ia adalah pengajaran untuk semua di setiap masa dan negeri dan wajib diikuti sampai hari qiamat.” (Al Hukumah Al Islamiyyah, m.s. 113)
Jika Syiah dahulu mempercayai para Imam Dua Belas itu adalah maksum (terpelihara dari dosa-dosa sama ada besar atau kecil) mereka juga tidak tersalah dan tersilap di dalam tindak tanduknya; Syeikh Muhammad Ridha Al Muzaffar di dalam kitabnya ‘Aqaaid Al Imamiyyah’ menegaskan bahawa di antara aqidah golongan Imamiyyah ialah Imam itu mestilah terpelihara (maksum) daripada kelalaian , tersalah dan terlupa (`Aqaaid Al Imamiyyah, m.s.72) maka Khomeini juga demikian . Kata Khomeini,” Kita tidak dapat menggambarkan para Imam itu lupa dan lalai.” (Al hukumah Al islamiyyah, m.s. 91)
Syiah mempercayai Al Quran telah ditakrifkan (diselewengkan). Ni`matullah Al Jazaairi di dalam kitabnya Al Anwar An Nu`maniyyah mengatakan “Sesungguhnya Al Quran sebagaimana telah diturunkan tidaklah ditulis kecuali oleh Amirul Mukminin (Alia.a.s.) dengan wasiat daripada Nabi s.a.w. Maka selepas kewafatan Rasulullah s.a.w. Sayyidina Ali sibuk mengumpulkannya selama enam bulan. Setelah dia mengumpulkannya sepertimana ia diturunkan (kepada Rasulullah s.a.w.) diapun membawa Al Quran itu kepada orang-orang yang telah berlaku curang setelah kewafatan Rasulullah s.a.w. (maksudnya Sayyidina Abu Bakr, Sayyidina Umar dan Sayyidina Uthman)……..dan di dalam Al Quran itu terdapat banyak tambahan (daripada Al Quran yang ada pada masyarakat umum umat Islam di setiap zaman). Ia kosong daripada sebarang tahrif (penyelewengan) (Al Anwar An Nu’maniyyah jilid 2 m.s. 360).
Khomeini juga di dalam bukunya “Kasyful Asrar” walaupun tidak dengan secara terbuka dan terus terang mengatakan Al Quran ini telah ditahrifkan tetapi daripada kata-katanya secara logik dapat disimpulkan bahawa dia juga tidak berbeza dengan Syiah-syiah lain dalam soal ini. Umpamanya , di satu tempat Khomeini menulis sebagai menjawab kepada kemungkinan soalan ditimbulkan tentang kenapakah Imam itu tidak disebutkan di dalam Al Quran?
Sebagai menjawabnya, Khomeini mengemukakan beberapa andaian antaranya ialah andaian keempat yang bermaksud, “Kalaupun Allah telah menyebutkan nama Imam secara terang-terangan di dalam Al Quran, namun orang-orang yang hanya memeluk agama Islam dan menerima Al Quran semata-mata kerana kepentingan dunia dan untuk mendapat kuasa. Mereka telah menjadikan Al Quran itu sebagai alat dan sarana untuk sampai kepada matlamat –matlamat mereka yang rosak itu Kerana itu mungkin sekali mereka ini akan mengeluarkan daripada Al Quran ayat-ayat yang menyebutkan nama Imam-imam itu dan melakukan tahrif terhadap kitab suci dari langit itu dengan melenyapkannya dari pandangan manusia selama-lamanya. Maka sampai qiamat kenyataan ini akan memalukan umat Islam dan mengaibkan Al Quran dan dengan itu kritikan yang mereka hadapkan kepada orang-orang Yahudi dan Kristian berhubung dengan kitab-kitab mereka yang sudah ditahrifkan (diselewengkan) akan mengenai diri mereka dan Al Quran, kitab mereka sendiri. (Kasful Asrar, m.s. 114)
Sekiranya Syiah dahulu begitu benci dan dendam terhadap para sahabat sehingga luahan dendam mereka itu dapat dilihat dengan jelas sekali di dalam tulisan ulamak-ulamak mereka dan hampir tidak dapat ditemui sebuah kitab Syiah yang tidak memuatkan caci maki sumpah seranah terhadap sahabat. Maka Khomeini juga tidak terbelakang dalam akidah dan tabiat ini
Kenyataan dapat dilihat umpamanya di celah-celah tulisannya antaranya, “Abu Bakr dan Umar telah banyak menyalahi hukum-hukum Allah yang terang. Mereka berdua telah banyak mempermain-mainkan hukum-hukum Tuhan. Mereka telah menghalalkan dan mengharamkan dari pihak diri-sendiri. Mereka berdua telah melakukan kezaliman terhadap Fatimah dan anak cucunya” (Kasyful Asrar, m.s. 110). Khomeini juga di antara 6 orang yang telah mengesahkan dan merestui kitab “Tuhfatul Awam” yang mengandungi doa supaya Allah melaknat Sayyidina Abu Bakr, Sayyidina Umar dan pengikut-pengikutnya. Antara lain doa itu bermaksud, “Ya Allah!Laknatlah dua berhala quraisy, dua jiblnya, dua taghutnya, dua orang yang malang dari kalangan mereka dan dua orang anak perempuan mereka. Mereka berdua telah melanggar perintahMu, mengingkari wahyuMu, menolak kurniaanMu dan derhaka kepada RasulMu. Mereka berdua telah mengubah agamaMU dan menyelewengkan KitabMu, mereka berdua telah menyintai musuh-musuhMu, menolak nikmat-nikmatMu dan telah menghentikan hukum-hukumMu …….”dan seterusnya . Dua orang tersebut yang diminta supaya dilaknat oleh Allah itu ialah Abu Bakr dan Umar.
Betapa dalamnya rasa dendam dan benci di dalam hati Khomeini terhadap para sahabat Rasulullah s.a.w, dapat dilihat pada tulisan-tulisannya di dalam kitabnya Kasyful Asrar. Dia menulis, “Kita hanya menyembah Tuhan yang segala perbuatanNya tegak di atas asas kebijaksanaan dan tidak bercanggah dengan akal. Kita tidak menyembah Tuhan yang mendirikan sebuah bangunan yang megah untuk ibadat, keadilan dan ugama, kemudian merobohkan sendiri bangunan itu dengan melantik orang-orang yang jahat seperti Yazid, Muawiyyah, Utsman dan lain-lain sebagai khalifah serta tidak menentukan nasib umat sesudah wafat NabiNya.” (Kasyful Asrar, m.s. 107)
Kalau Tuhan yang telah melantik mereka itu menjadi khalifah, tidak disembah oleh Khomeini, maka Tuhan manakah yang disembahnya? Adakah Tuhan lain selain Allah telah melantik mereka itu sebagai khalifah?!
Syiah dahulu telah mengemukakan kata-kata dan anjuran para Imam tentang mut’ah; fadhilatnya, keistimewaannya dan bagaimana orang yang tidak melakukan mut’ah itu tidak terbilang sebagai Syiah. Khomeini pergi lebih jauh dan ke halaman yang lebih terang apabila ia menulis di dalam kitabnya “Tahrirul Wasilah” bahawa mut’ah boleh dilakukan dengan perempuan Yahudi, Nasrani, dan Majusi juga dengan pelacur-(Tahrirul Wasilah, jilid 2 hal.292)
Seandainya Syiah dahulu mengamalkan konsep taqiyyah dan mempercayai taqiyyah sebagai salah satu ciri keimanan yang terpenting, maka Khomeini juga menganjurkan orang-orang Syiah supaya bertaqiyyah dengan orang-orang Ahli Sunnah Wal Jamaah. Umpamanya beliau berkata, “Perkara kedua (yang membatalkan sembahyang) ialah takfir iaitu meletakkan satu tangan di atas tangan yang lain (dakap qiam) seperti yang dilakukan oleh orang-orang bukan dari kalangan kita. Tetapi tidak mengapa melakukannya dalam taqiyyah” (Tahrirul Wasilah jilid m.s. 186). Dia berkata lagi, “Dan sengaja mengucapkan ‘Amin’ selepas selesai membaca fatihah (juga membatalkan sembahyang) kecuali kerana taqiyyah, tidak mengapa mengucapkan.”(Tahrirul Al Wasilah ,jilid 1 m.s. 190)
Sesetengah kalangan terpedaya apabila Khomeini menganjurkan penganut-penganut Syiah bersembahyang berimamkan Imam masjidil Haram ketika mereka berada di Mekah. Mereka berhujjah dengan mengatakan bahawa Khomeini tidak seperti Syiah pelampau yang menganggap tidak sah bersembahyang di belakang Ahli Sunnah kerana beliau sendiri menganjurkan supaya diikut Imam Masjidil Haram yang beraqidah Ahli Sunnah Wal Jamaah, padahal kalaulah mereka sedar betapa besarnya senjata taqiyyah ini di sisi Syiah sehingga dikatakan 9/10 ugama terletak dalam taqiyyah tentulah mereka tidak terpedaya dengan anjuran Khomeini itu.
ni kerana mengikut aqidah Syiah bersembahyang di belakang Ahli Sunnah secara taqiyyah sama seperti berimamkan Rasulullah s.a.w. di dalam saf pertama. Mereka meriwayatkan daripada Jaafar As Shadiq bahawa beliau berkata, “Sesiapa bersembahyang di belakang Imam Ahli Sunnah Wal Jamaah secara taqiyyah seolah-olah ia bersembahyang dalam saf pertama dengan berimamkan Rasulullah s.a.w.” (Man La Yahhurihul Faqih , j.hal.250)
Sementara itu di dalam kitab Jaamul Akhbar m.s. 108, Jaafar As Shadiq berkata, “Sesiapa bersembahyang di belakang munafiqin secara taqiyyah ia seperti bersembahyang di belakang para Imam (Ibn Babwaih Al Qummi-Jaamiul Akhbar, hal.108)
Dari kenyataan-kenyataan Syiah ini dapat kita mengetahui betapa Khomeini telah mempraktikkan apa yang tersebut di dalam kitab-kitab Syiah itu. Sebabnya menurut ajaran Syiah yang sebenar, tidak ada perbezaan sembahyang Ahli Sunnah dengan perzinaan yang dilakukannya (Al Kufi, jilid 8 m.s. 162, tafsir Al Burhan, jilid 4 hal 453) dan tidak sah bersembahyang di belakang mereka (Ahli Sunnah)-(At Thusi- An Nihayah , hal.112)
Amalan taqiyyah ini begitu penting dan istimewa sekali di sisi Syiah sehingga Jaafar As Shadiq diriwayatkan ada berkata, “Mengamalkan taqiyyah itu lebih afdal dari sedekah, haji dan berjihad.”(Ibn Babwaih Al Qummi –Jaamiul Akhbar, hal.108)
Ini hanya sebahagian kecil daripada aqidah dan amalan orang-orang Syiah, yang juga merupakan aqidah dan amalan Khomeini, sedangkan jika ditinjau dari pandangan Islam dan jika ditimbang dengan neraca keislaman dan keimanan yang sedia ada pada kita Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan majoriti umat Islam di setiap zaman, orang-orang yang menganut aqidah dan kefahaman seperti yang tersebut itu adalah sesat dan kafir.
Aqidah Imamah yang merupakan Rukun Iman disisi Syiah tidak menjadi akidah kepada Ahli Sunnah Wal Jamaah kerana itu secara tidak langsung golongan Ahli Sunnah Wal Jamaah mengikut akidah Syiah adalah bukan mukmin dan bukan Islam dan serentak dengan itu membuktikan bahawa perbezaan di antara Ahli Sunnah Wal Jamaah dan Syiah bukanlah di sudut cabangan tetapi dari sudut aqidah dan pegangan hidup.
Bagi kita umat Islam, sesuatu itu hanya menjadi aqidah apabila terbukti dalam Al Quran dan As Sunnah yang mutawatir dengan jelas dan ertinya tidak menerima takwilan (qat’iyu as –subut wa ad dalalah) sedangkan tidak ada satupun ayat dalam Al Quran yang jelas yang tidak menerima takwilan berhubung dengan Imamah ini atau keadaan Imam Dua Belas itu sebagai imam yang wajib ditaati, dilantik oleh Allah, terpelihara dari dosa dan sebagainya
Konsep Ismah dalam aqidah Syiah juga meletakkan para Imam melebihi para Nabi seperti yang dapat kita lihat dengan jelas dalam tulisan Khomeini sedangkan mengikut ulamak Ahli Sunnah Wal Jamaah seperti yang digambarkan oleh Qadhi Iyadh Al Maliki bahawa, “Kita menghukum putus tentang kufurnya orang-orang yang mempercayai para Imam lebih utama dari para Nabi.” (As Syifa’, jilid 2 m.s. .290)
ika Syiah sudah sampai mempercayai keterpeliharaan para Imam bukan sahaja daripada dosa tetapi juga daripada tersalah dan terlupa, tidakkah aqidah ini bererti mempercayai para Imam itu melebihi para Nabi? Kerana para Nabi itu hanya terpelihara daripada dosa tetapi tidak terpelihara daripada tersilap dan terlupa seperti yang jelas tersebut di dalam Al Quran dan As Sunnah.
Konsep Imamah dan Ismah yang dikemukakan oleh Syiah ini pada hakikatnya menyerang konsep ‘Khatmu An Nubuwwah’ yang merupakan salah satu aqidah Ahli Sunnah Wal Jamaah. Mempercayai konsep ini mengikut Ahli Sunnah Wal Jamaah akan menjunamkan seseorang ke jurang kezindiqan dan riddah.
Syah Waliyyullah menyatakan perkara ini di dalam kitabnya “Al Musawwa”, katanya, “Demikian juga umpamanya orang yang mengatakan Sayyidina Abu Bakr dan Sayyidina Umar bukan ahli syurga , sedangkan hadith yang menceritakan mereka berdua ahli syurga adalah mutawatir atau ia berkata memang Nabi Muhammad adalah penyudah sekelian Nabi tetapi maksud penyudah sekelian Nabi itu ialah tidak harus seseorang yang datang selepasnya dinamakan dengan Nabi. Adapun intisari dan hakikat kenabian iaitu keadaan seseorang itu diutuskan daripada pihak Allah kepada makhlukNya, wajib ditaati, terpelihara daripada dosa dosa dan terpelihara daripada berterusan di atas kesalahan dan kesilapan pada pendapatnya; intisari-intisari dan hakikat-hakikat itu ada pada Imam-imam selepasnya. Maka orang yang berfahaman seperti itu adalah zindiq. Jumhur ulamak mutaakhirin dari kalangan Hanafiyyah dan Syafi’iyyah sepakat menghukumkan supaya orang yang seperti itu dibunuh.” (Musawwa Syarah Muwattha Imam Malik , jilid 2 , m.s.110)
Syiah mempercayai Al Quran yang ada ini telah ditahrifkan tetapi mengikut Ahli Sunnah Wal Jamaah, orang yang mempercayai Al Quran ini telah diselewengkan atau ditahrifkan isinya walaupun satu ayat adalah terkeluar dari Islam. Maka kerana umat Islam tidak dapat menerima Syiah yang mempunyai kepercayaan yang seperti itu terhadap Al Quran, mereka (Syiah) mula memilih strategi baru di dalam pegembangannya iaitu mengisytiharkan kepada seluruh umat Islam bahawa mereka juga mempercayai Al Quran yang dipercayai oleh Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Tetapi Al Quran yang ada ini telah diterima oleh kedua-dua pihak Ahli Sunnah dan juga Syiah sebagai Al Quran yang dikumpulkan oleh para sahabat dan merekalah yang menulisnya sedangkan mereka (sahabat) jika kita nilaikan dengan penilaian yang dapat kita ambil dari tulisan Khomeini. Adalah orang-orang yang jahat, yang berpura-pura memeluk agama Islam.
Tidakkah timbul tandatanya di dalam kepala kita yang telahpun Islam ini atau orang-orang yang bukan Islam bahawa, “Tidakkah mungkin Al Quran ini telah ditokok tambah oleh para sahabat yang begitu jahat peribadinya dan mempunyai kepentingan politiknya di dalam menganut agama Islam ?”
Bagaimanakah dari segi logiknya golongan Syiah dapat menerima Al Quran ini sebagai benar , tidak diselewengkan atau ditukargantikan isinya oleh para sahabat yang mereka anggap sebagai seburuk-buruk manusia bahkan telah murtad setelah kewafatan Rasulullah s.a.w , hanya tinggal segelintir sahaja yang masih tetap dengan Islam , itupun secara sembunyi-sembunyi atau taqiyyah??
Berkenaan dengan sahabat pula, bagi kita umat Islam , mereka adalah sebaik-baik generasi dari umat Muhammad s.a.w. kerana mereka adalah generasi yang telah menerima pengajaran dan pendidikan Rasulullah s.a.w. secara langsung Allah s.w.t. berfirman yang maksudnya:
Sesungguhnya Allah telah mengurniakan nikmat yang besar kepada orang-orang mukmin kerana ia telah mengutuskan seorang Rasul dari kalangan mereka ,yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, membersihkan jiwa mereka serta mengajarkan Al Kitab (Al Quran) dan hikmat kebijaksanaan walaupun sebelum itu mereka berada di dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran:164)
Jika kita menerima aqidah Syiah tentang sahabat, bermakna kita telah mengingkari nikmat besar yang telah dikurniakan oleh Allah kepada para sahabat itu iaitu satu nikmat yang sungguh besar sehingga disebut sendiri oleh Allah. Di samping kita menganggap Rasulullah s.a.w. telah gagal di dalam pengajaran dan usaha–usaha membersihkan peribadi mukmin , apakah sahabat-sahabat yang begitu jahat, berperibadi hina, berpaling tadah dan mengkhianati Rasulullah s.a.w. sepeninggalan Baginda s.a.w. seperti yang dipercayai oleh Syiah itu layak disebutkan oleh Allah sebagai suatu keistimewaan dan nikmat dari pihaknya, sedangkan setelah sekian lama mereka mendapat pengajaran dan pendidikan Rasulullah s.a.w. mereka tetap sesat bahkan menyesatkan pula umat Rasulullah s.a.w??Bagi Ahli Sunnah Wal Jamaah keimanan para sahabat dan peribadi mereka merupakan pengukur dan penilai kepada keimanan dan peribadi orang-orang selain mereka. Ini adalah berdasarkan firman Allah yang bermaksud;
“Maka kalau mereka beriman sebagaimana kamu (sahabat) beriman (dengan Kitab-kitab Allah dan RasulNya ), maka sesungguhnya mereka telah beroleh petunjuk (terpimpin)” (Al Baqarah : 137)
Sebenarnya golongan Syiah yang pada hakikatnya adalah musuh Islam telahpun merancang untuk merobohkan Islam secara total di sebalik mereka menghentam dan memukul para sahabat itu. Betapa tidaknya , jika sahabat itu diragui dan dipertikaikan bukan sahaja hadith-hadith akan dipertikaikan atau ditolak bahkan Al Quran sendiri akan tertolak dan dipertikaikan kerana kedua-dua asas Islam ini disampaikan kepada generasi kemudian oleh para sahabat Rasulullah s.aw. Hakikat ini telahpun disedari oleh ulamak Islam sejak zaman berzaman lagi.
Sebagai contohnya dapat kita kemukakan pendapat seorang tokoh ulamak hadith yang terkenal dari kalangan salaf iaitu Imam Abu Zur’ah Ar Razi (w.264h). Kata beliau ,”Bila engkau lihat seseorang mencari-cari kesalahan mana-mana sahabat Rasulullah s.a.w, maka ketahuilah bahawa sesungguhnya orang itu adalah zindiq kerana Rasulullah s.a.w. di sisi kita adalah benar dan Al Quran (juga)benar. Al Quran dan As Sunnah disampaikan kepada kita oleh sahabat–sahabat Rasulullah s.a.w. itu. Mereka sebenarnya mahu mencederakan saksi-saksi kita untuk membatalkan Al Quran dan As Sunnah. Mereka itulah yang patut dicederakan Itulah dia orang-orang zindiq.” (Khathib Baghdadi-Al Kifayah Fi Ilmi Ar Riwayah , hal.49)
Kesimpulan
(1) Daripada perbincangan yang lalu nyatalah kepada kita bahawa kebangkitan “Republik Islam Iran” yang berteraskan walayatul faqih itu adalah satu kebangkitan yang palsu ditinjau dari sudut ajaran Syiah dan juga dari sudut ajaran Ahli Sunnah Wal Jamaah. Ianya lebih tepat dengan nama “Kebangkitan Khomeinism “yang langsung tidak ada kaitannya dengan agama Islam yang suci.
(2) Penamaan sesebuah negara sebagai sebuah negara Islam tidaklah menjadikan sesebuah negara itu Islam pada hakikatnya kerana negara Islam dalam istilahnya ialah negara yang polisi pemerintahannya terletak di tangan orang-orang Islam yang benar dalam aqidahnya sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah yang sahih serta mendaulatkan segala hukum hakam Islam yang berpunca daripada kedua-duanya. Sesebuah negara itu tidaklah menjadi negara Islam semata- mata dengan menamakannya sebagai “Negara Islam” tetapi ianya mestilah memenuhi tuntutan –tuntutannya dalam istilah yang diterima oleh ulamak Islam
Imam Jalaluddin As Suyuthi tidak menyenaraikan kerajaan Ubaidiyyin atau lebih dikenali dengan kerajaan Fathimiyyin atau Fathimiyyah sebagai kerajaan Islam . Ini disebabkan kekhalifan mereka tidak sah kerana beberapa sebab. Antara yang disebutkan oleh beliau ialah kebanyakan mereka itu adalah golongan zindiq yang telah terkeluar dari agama Islam. Ada diantara mereka yang memaki para Nabi secara terang-terangan ada yang memerintah supaya dimaki para sahabat r.a.. Dan lain-lain kekarutan yang tidak ada kena mengenanya dengan Islam. (Lihat Tarikhu Al Khulafa, m.s.6 dan 7)
(3) Teori “walayatul faqih” pada hakikatnya adalah suatu usaha pemindahan kuasa Imam Mahdi (Syiah) oleh segelintir ulamak Syiah dan telah dibuktikan secara praktikal oleh Khomeini kepada orang-orang yang dianggap sebagai wakil-wakilnya , setelah pada hakikatnya mereka berputus asa dan yakin bahawa Imam Mahdi itu tidak akan muncul.
Dengan adanya pemindahan kuasa ini , dapatlah wakil-wakil Imam Mahdi itu melaksanakan apa yang dipercayai akan dilakukan oleh Imam Mahdi selepas kemunculannya dan selepas apa yang dinamakan di dalam istilah Syiah sebagai “raj’ah”.Antara yang akan berlaku menurut kepercayaan mereka ialah : Imam Mahdi membongkar kubur Sayyidina Abu Bakr, Sayyidina Umar dan lain-lain yang kononnya memusuhi Ahlul Bait, melaksanakan hukum hudud terhadap Aishah yang dituduh oleh mereka telah berzina dengan Safuan sahabat Rasulullah s.a.w , merobohkan Ka’bah dan melakukan banyak pembunuhan atau penghapusan etnik Arab juga melayani orang-orang Ahli Sunnah dengan seburuk-buruk layanan.
(4) Musuh-musuh Islam di zaman moden ini dengan bersenjatakan ajaran Syiah atau Khomeinism sebenarnya mahu melihat kembali kejayaan yang pernah dicapai oleh nenek moyang mereka di permulaan sejarah Islam melalui slogan-slogan cintakan Ahlul Bait. Sememangnya cukup lunak slogan itu sehingga begitu ramai yang terpengaruh dengannya. Kalau di zaman permulaan Islam ketika mana masih ramai lagi para sahabat Rasulullah s.a.w yang mendapat pendidikan secara langsung dari Baginda s.a.w daayah ini telah mencetuskan satu fitnah yang telah memporak–porandakan umat sampai terbunuh syahid Sayyidina Uthman bin Affan. Maka tentu sekali mengikut perkiraan mereka dalam keadaan umat Islam lupa akan sejarah silam dan sebahagian besar daripada sejarah Islam itu telah diselewengkan , umat ini boleh diporak-porandakan dengan senjata yang sama.
(5) Penonjolan Syiah sebagai alternatif bertujuan memurtadkan umat Islam secara besar-besaran ataupun menjadikan mereka zindiq iaitu golongan yang merasakan mereka benar-benar beragama padahal sebenarnya mereka menyimpang jauh dari landasan agama.
(6) Kebangkitan Syiah dalam bentuk sebuah negara adalah suatu yang direncanakan oleh musuh-musuh Islam apabila mereka menyedari telah lahir sebilangan besar umat Islam yang tidak dapat disisihkan daripada landasan menuju ke arah Islam yang menyeluruh dengan menyebarluaskan di antara mereka bahan- bahan hiburan dan gaya hidup berpoya-poya. Hanya tinggal satu sahaja cara yang dapat memusnahkan golongan ini iaitulah dengan bertopengkan nifaq. Kejayaan mereka kerana menggunakan cara ini sungguh memuaskan hati mereka justeru bukan orang-orang jahil dan fasiq telah dapat dipesongkan tetapi orang-orang yang benar-benar telah bersemangat agama atau orang-orang yang telah sekian lama patuh beragama.
(7) Kebangkitan sebuah negara atas nama Islam yang berteraskan “walayatul faqih” dan ajaran Syiah secara keseluruhannya adalah suatu yang dirancangkan oleh musuh-musuh Islam untuk mengalihkan pandangan umat Islam daripada metode dan matlamat perjuangan mereka yang sebenar dengan menjadikan negara “Walayatul Faqih” sebagai contoh sebuah negara Islam yang kononnya berpandukan Al Quran dan As Sunnah .
Matlamat mereka ialah apabila umat Islam menjadikan negara Syiah sebagai contoh tentulah mereka (umat Islam) akan bertanya dan seterusnya mengamalkan segala apa yang telah menjadi unsur-unsur kepada kejayaan negara yang menjadi contoh itu terutama sudut aqidah dan kepercayaannya. Apabila ini berlaku bererti umat Islam telah gagal juga di dalam usaha mereka menegakkan sebuah negara Islam tulin, kerana negara yang telah dijadikan contoh itu sebenarnya adalah negara Islam yang palsu.
Penutup
Kerana aqidah-aqidah dan kepercayaan–kepercayaan yang tersebut sebelum inilah, ulamak-ulamak Islam yang lampau menganggap golongan Syiah ini melampau, tidak boleh dijadikan hujjah dan dihormati terutamanya kerana adanya aqidah taqiyyah pada mereka itu yang pada hakikatnya adalah nifaq. Justeru itu Imam Az Zahabi umpamanya mengatakan , “Golongan Syiah yang melampau seperti ini tidak boleh dijadikan hujjah dan dihormati apalagi hari ini saya tidak menemui seorangpun dari golongan ini yang benar dan boleh dipercayai kerana bohong telah menjadi syiar mereka, taqiyyah dan nifaq telah menjadi selimut mereka.”(Az Zahabi-Mizan Al- I’tidal, j.1hal.6)
Imam Jaafar As Shadiq sendiri yang dianggap oleh golongan Syiah sebagai Imam Maksum mereka yang keenam ada berkata, dan dinukilkan kata-katanya itu oleh tokoh ulamak Syiah, Syeikh At Thusi di dalam kitabnya “Ikhtiar Ma’rifati Ar Rijal” (sebuah kitab Syiah) bahawa,”Tidak ada satupun ayat yang diturunkan oleh Allah tentang golongan munafiqin melainkan kandungan ayat itu pasti ada pada orang yang menganut fahaman Syiah.” (Ikhtiar Ma’rifati Ar Rijal, hal. 1)
Al Quran dan As Sunnah mengajarkan kepada kita bahawa selain daripada Muslim dan kafir di sana terdapat juga satu golongan lagi yang dinamakan munafiq.
Sebagaimana Al Quran mengajar kepada kita bagaimana cara menghadapi orang-orang kafir, ia juga menceritakan kepada kita tentang sifat -sifat orang munafiq dan mengajar bagaimana cara-cara kita berhadapan dengan mereka. Umat Islam yang meletakkan di hadapannya ayat-ayat Al Quran dan As Sunnah yang menyebutkan sifat-sifat munafiq itu tentu tidak akan terpedaya dengan tipu helah golongan ini dan tidak akan terpukau dengan kepalsuan ajaran mereka. Antara ayat terpenting yang dapat membimbing kita di dalam hal ini ialah firman Allah s.w.t. yang bermaksud:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (kerana) mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu , mereka berkata,”Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit hujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu kerana kemarahanmu itu “Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati” (Ali ‘Imran: 118-119)
Subscribe to:
Posts (Atom)