Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saling mencintai karena Allah dan dalam urusan Allah. Seorang di antara mereka senantiasa berpikir tentang kebutuhan saudaranya. Memenuhi hak dan menolong adalah sifat mereka. Akan tetapi Rafidhah tidak pernah merasa tenang melainkan dengan merusak dan mengeruhkan suasana persaudaraan yang indah di antara mereka.
Rasa cinta dan bersih hati begitu lekat dengan para sahabat Radhiallahu ‘Anhu, sehingga mereka menjadi perumpamaan yang sangat elok dan abadi. Sebut saja misalnya ketika Abu Bakar, Umar dan Utsman mereka bersama-sama membantu Ali Radhiallahu ‘Anhu dalam kesuksesan pernikahannya dengan Fathimah Radhiallahu ‘Anha. Kita memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa kitab-kitab Syi’ah telah mendokumentasikan fakta sejarah yang menakjubkan ini.
Al-Majlisi, juru bicara Syi’ah dalam soal cela mencela ini ternyata telah menguatkan hal tersebut. Dia meriwayatkan bahwa Abu Bakar bekata kepada Umar dan Sa’ad: “Ayo, mari kita pergi ke Ali ibn Abi Thalib untuk mendorongnya dan memaksanya agar meminta hal tersebut dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yakni menikahi Fathimah), jika dia enggan karena fakirnya kita membantunya untuk itu”. Sa’ad menjawab: “Hebat sekali yang engaku pikirkan”. Akhirnya mereka pergi ke rumah amirul mukminin ‘Alaihi Sallam…..tatkala mereka sampai, dia bertanya: “Apa gerangan yang membuat kalian datang kemari pada saat seperti ini”. Abu Bakar menejelaskan: “Wahai Abu Hasan, tidak ada perkara kebaikan melainkan engkau telah mendahuluinya.….lalu apakah kiranya yang menghalangimu untuk meminta dari Rasullulah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam putrinya yang bernama Fathimah?” Ketika Ali mendengar ucapan itu dari Abu Bakar air matanya berderai dan membasahi pipinya. Dia berkata: “Engkau telah merobek lukaku, engkau telah mengingatkan dan mengobarkan angan-angan dan mimpiku yang telah lama aku sembunyikan. Siapa orang yang tidak ingin mempersuntingnya? Tetapi langkahku tertahan karena kefakiranku, aku merasa malu dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika aku mengucapkannya sementara keadaanku seperti ini?”[1]
Maka Abu Bakar dan Umar mengupayakan pernikahannya, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyetujui perkawinan ini. Di sini Utsman tidak mau ketinggalan, ia ingin ikut berperan dalam pernikahan ini karena mereka semua adalah bersaudara yang saling mencintai dan mengasihi. Ali menceritakan peristiwanya sendiri: “Ketika aku menghadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk meminang Fathimah beliau berkata, “Juallah baju besimu dan bawalah kemari uangnya, supaya aku bisa menyiapkan untukmu dan untuk putriku Fathimah apa yang membuat kalian bahagia.” Ali berkata: “Aku ambil baju besiku, aku bawa ke pasar dan aku menjualnya dengan harga 400 dirham hajariyah yang hitam kepada Utsman ibn Affan. Setelah uangnya aku pegang dan baju besiku dipegang olehnya dia berkata, “Hai Abul Hasan! Bukankah sekarang aku lebih berhak dengan baju besi ini dari pada dirimu dan engkau lebih berhak dengan uang itu dari pada diriku?” Aku berkata: Ya. Dia berkata, “Sesungguhnya baju besi ini hadiah dariku untukmu.” Lalu aku ambil baju dan uangnya, langsung menuju Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sesampainya di sana aku letakkan baju dan uangnya di hadapan beliau, lalu aku ceritakan kebaikan Utsman, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendo’akannya dengan kebaikan”.[2] Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerima uang dirham itu dengan kedua tangannya dan diberikannya kepada Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu dengan mengatakan: “Belikan untuk Fathimah apa yang membuatnya baik, dari pakaian dan perabotan rumah.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyertakan Ammar ibn Yasir dan beberapa sahabatnya untuk menemani Abu Bakar. Di pasar mereka menawar hal-hal yang bagus dan mereka tidak membelinya melainkan setelah menyodorkannya kepada Abu Bakar dan Abu Bakar menganggapnya bagus….setelah pembelian selesai, Abu Bakar membawa sebagian barang dan sisanya dibawa oleh para sahabat lain yang bersamanya”.[3]
Bahkan tidak berhenti sampai di sini. Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiallahu ‘Anhu menjadi saksi dalam pernikahan yang diberkahi ini. Anas Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Saya berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian beliau didatangi wahyu, setelah beliau selesai menerima wahyu beliau berkata kepadaku, “Ya Anas! Apakah engkau mengerti apa yang dibawa kepadaku oleh Jibril ‘Alaihi Sallam dari Pemilik Arsy?” Saya berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Saya diperintahkan untuk menikahkan Fathimah dengan Ali. Pergilah dan panggillah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, az-Zubair dan sebanyak bilangan mereka dari kaum Anshar.”
Anas berkata: “Maka saya berangkat mengundang mereka untuk Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tatkala mereka duduk di majlis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata –setelah bertahmid kepada Allah- : “Kemudian sesungguhnya aku mempersaksikan kepada kalian bahwa aku telah mengawinkan Fathimah dengan Ali dengan mahar 400 dirham, satu mitsqal perak”.[4]
Apakah kiranya yang akan diucapkan oleh mereka?
Sepertinya kita tidak mendengar suara kalian sama sekali!
Kemudian inilah kalian telah mengakui bahwa pernikahan Fathimah dengan Ali adalah dengan berdasarkan dari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah telah memilih Ali untuk Fathimah, yang dia itu putri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu bagaimana dengan Nabi sendiri yang diutus oleh Allah, bukankah Allah yang telah memilihkan untuknya istri-istrinya?
Bagaiamana kalian mengakui adanya perintah Allah dalam pernikahan Ali dengan Fathimah sementara kalian mengingkari pernikahan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan putri Abu Bakar, Aisyah Radhiallahu ‘Anha. Padahal hal itu adalah perintah dan pilihan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala!
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum, sehingga mereka berusaha mengubah apa yang ada pada mereka.”
==========================================================
[1] Jala’ al-‘Uyun. Jilid I. Hal 169. Cet Kitab Furusyi Islamiyah. Teheran.
[2] Al-Manaqib. Al-Khawarizmi. Hal 235-252. Cet Najef; Kasyf al-Ghummah. Jilid I. Hal 359; Bihar al-Anwar. Hal 39, 40. Cet Teheran.
[3] Al-Amali. Jilid I. Hal 39; Al-Manaqib. Al-Mazindani. Jilid II. Hal 20. Cet India; Jala’ al-‘Uyun. Jilid I. Hal 176.
[4] Kasyf al-Ghummah. Jild I. Hal 348. Cet. Tibriz; Bihar al-Anwar. Jilid I. Hal 47-48.
No comments:
Post a Comment