Monday, 12 December 2011

Sikap Ahlulbait Nabi Terhadap Abubakar As Shiddiq 1

Akan kami beberkan sikap ahlulbait terhadap orang yang dalam Al-Qur'an disebut sebagai orang yang menemani Rasulullah dalam Gua saat pengejaran. Dalam hal ini, Ali anak paman Rasulullah dan menantunya, menyatakan tentang pembai'atan Abubakar setelah wafatnya Rasulullah.

"Saat itu aku datangi Abubakar dan membai'atnya. Akupun bangkit membela Abubakar menghadapi segala kejadian yang mengancam situasi ummat, hingga terkikis tuntas semua penyelewengan. Kalimat Allah tetap terjunjung walaupun dibenci oleh kaum kafir. Abubakar telah berhasil menguasai situasi dengan mudah. Ummat kian bersatu. Kesejahteraan kian membaik. Aku selalu mendampingi dan menasehatinya. Aku pun patuh demi kepatuhanku kepada Allah dan tidak berhenti pula berjuang." [i]

Surat Ali yang dikirim kepada Gubernur Mesir, Qays bin Saad bin Ubadah al-Anshaar berbunyi :

"Bismillahirrahmanirrahim, dari hamba Allah Ali Amirulmu'minin kepada yang akan menyampaikan isi suratku kepada kaum muslimin, assalamu'alaikum. Aku bersyukur bahwa tiada Tuhan selain Allah. Ammaa ba'du. Sesungguhnya Allah dengan keindahan ciptaanNya, kodrat dan kecermatanNya telah memilih Islam sebagai agama Allah, para malaikat dan para rasulNya. Allah telah mengutus para Rasul untuk hamba-hambaNya, sebagai pilihan dari semua makhluk-Nya. Allah telah memberi penghargaan kepada ummat manusia dengan mengutus Muhammad SAW guna mengajarkan Al-Qur'an, hikmah, assunnah dan berbagai kewajiban. Mereka telah dididik untuk memperoleh hidayah. Mereka dipersatukan agar tidak terpecah-belah. Mereka dianjurkan untuk senantiasa dalam keadaan suci-bersih. Setelah beliau menyelesaikan tugasnya, Allah telah mengangkat beliau kembali ke haribaanNya. Setelah itu kaum muslimin mengangkat berturut-turut dua orang khalifah yang saleh, mengamalkan ajaran Al-Qur'an, terpuji perilakunya dan tidak pernah menyimpang dari sunnah RasulNya. Kemudian kedua orang ini dipanggil Allah pula kepangkuan rahmat-Nya." [ii]

Tentang peri hidup Abubakar Ash-Shiddiq ia mengatakan

"Setelah wafatnya Muhammad, ummat Islam telah memilih seorang pemimpin yang berasal dari mereka sendiri. Ia telah mengerahkan seluruh kemampuannya dengan sungguh-sungguh dan rasa taqwa kepada Allah." [iii]

Pada saat ummat memilih Abubakar sebagai khalifah dan pemimpin mereka, Al-Murtadho dan Zubeir ibnu Awwam (putera bibi Rasul Saw) menyatakan :

"Kami berpendapat bahwa Abubakar lah yang paling berhak untuk memangku jabatan ini. Beliau sebagai orang yang bersama-sama Rasulullah dalam Gua. Kami mengenal betul pengabdiannya dan perjuangannya. Ia pun telah diperintah oleh Rasulullah untuk mengimami shalat saat Rasulullah masih hidup." [iv]

Ini berarti bahwa khilafah Abubakar itu mendapat restu Rasulullah. Ali bin Abi Thalib pun senada dengan itu membantah Abi Sufyan yang berambisi sebagai calon khalifah menyaingi Abubakar, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Abil Hadid :

"Abu Sufyan mendatangi Ali AS dan mengatakan 'Kalian dukung orang yang berasal dari marga yang terendah dikalangan Quraisy. Sungguh, kalau anda mau dicalonkan, akan kami kumpulkan pendukung sebanyak-banyaknya'. Kemudian Ali menjawab : 'Selama anda masih suka membuat onar dalam tubuh ummat Islam, tak ada gunanya dukungan anda itu. Kami tidak membutuhkan sumbangan ternak serta sekelompok pendukung, Andaikata Abubakar memang tidak pantas menduduki tempat itu, aku pasti tidak akan tinggal diam." [v]

Telah dikisahkan pula oleh Assayyid Murtadho dalam kitabnya, bahwa telah diriwayatkan dari Ja'far bin Muhammad berdasarkan kisah ayahnya, telah menghadap seorang Quraisy kepada Ali bin Abi Thalib dan mengatakan : "Telah kudengar dari khutbahmu tadi sebuah do'a yang berbunyi 'Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan sebagaimana yang pernah Kau berikan kepada dua orang khalifah arraasyidiin sebelum aku. Siapakah gerangan dua orang yang kau maksud itu ?" Ali menjawab : "Mereka adalah kesayanganku. Ia adalah pamanmu Abubakar dan Umar. Mereka adalah imam yang bijaksana. Keduanya adalah tokoh utama Islam dan bangsa Quraisy, dan tidak pernah menyimpang dari ajaran Rasulullah. Barangsiapa yang mengikuti jejak mereka, akan selamatlah dalam perjalanan meniti jalan yang lurus.".

Telah ditegaskan pula pidato Ali dalam kitab tersebut yang menyatakan : "Orang yang paling utama setelah Nabi adalah Abubakar dan Umar."

Mengapa tidak dikatakan kisah yang juga dirawikan : "Di saat kami bersama-sama Nabi di gua Hiraa, tiba-tiba gunung-gunung itu bergerak, lalu beliau bersabda : Berhentilah, tiada yang lain bagimu kecuali Nabi, Siddiq dan Syahid (Umar)." [vi]

Kisah-kisah tersebut merupakan pandangan Ali terhadap Abubakar. Pandangan seorang Khalifah keempat bagi kita, dan imam Ma'sum pertama bagi Syi'ah, golongan yang menyatakan barangsiapa yang mengingkari kekuasaan Ali sesudah Rasulullah adalah Kafir. Seperti yang mereka nyatakan:

"Pendukungnya akan selamat, sedangkan penentangnya adalah kafir dan celaka. Dan yang mendukung selain Ali adalah sesat dan musyrik." [vii]

Imam-imam Syi'ah telah pula menetapkan :

"Allah tidak akan menerima suatu kaum yang menyeleweng dari ajaran mereka di hari kiamat nanti, sungguh demi Pemelihara Ka'bah." [viii]

Seharusnya golongan Syi'ah itu mengikuti jejak Ali dan anak-anaknya. Sikapnya terhadap para sahabat Rasulullah, terutama sahabat Rasul yang bersama-sama dalam Gua (Abubakar) semestinya pun sama pula dengan sikap yang dinyatakan oleh tokoh utama Ahlulbait, Ali bin Abi Thalib, seperti yang tertulis dalam buku-buku golongan Syi'ah itu sendiri.

Ucapan demikian seringkali diulang Ali dan seringkali pula dikutip oleh kitab-kitab Syi'ah, bahwa Ali menganggap Abubakar layak sebagai khalifah. Dan beliau lebih banyak berhak menduduki jabatan itu karena kebijakan dan peri hidupnya yang luhur. Hingga saat akhir hayat beliau akibat tikaman Ibnu Maljam, beliau sempat ditanya siapakah gerangan khalifah yang akan menggantikannya. Kisah yang diriwayatkan Abi Wa'il dan Al-Hakim, pada saat itu Ali bin Abi Thalib ditanya : Tidak berwasiatkah anda ? Lalu Ali menjawab : "Aku wasiatkan apa yang pernah diwasiatkan Rasulullah. Pesan beliau adalah : Apabila Allah menghendaki kebaikan, maka Allah akan mempercepat mereka untuk memilih orang yang terbaik setelah NabiNya." [ix]

Telah dikisahkan pula seperti kejadian itu oleh Ilmul Huda pada kitab golongan Syi'ah Asy-Syafi :

"Dari Amirul Mu'minin AS saat beliau ditanya : Tidak berwasiatkah anda ? Ali menjawab : 'Aku akan berwasiat sebagaimana yang pernah diwasiatkan Rasulullah. Dan beliau mengatakan, apabila Allah menghendaki kebaikan bagi ummatNya, maka mereka akan bersepakat untuk memilih orang yang terbaik dari mereka, sebagaimana yang pernah mereka lakukan setelah wafatnya nabinya." [x]

Jelas sekali Ali bin Abi Thalib berkeinginan agar para pengikut dan pendukungnya memilih seseorang yang baik dan saleh demi kejayaan ummat Islam. Sebagaimana pula setelah wafatnya nabi, para sahabat telah berhasil memilih salah seorang sahabat yang terbaik.

yaitu Abubakar As Siddiq sebagai pemimpin Islam. Beliau adalah tokoh Islam dan seorang Quraisy yang senantiasa mencontoh apa yang telah dirintis oleh Rasulullah.

[i] Al-Ghoroot, juz I, hal, 307.

[ii] Al-Ghoroot, juz I, hal, 210. Juga dalam Naasikh Attawaarikh, juz Ill, haL 241, cetakan Iran. Dan juga dalam "Majma'ul Bihaar" karya Al-Majlisi

[iii] Syarh Nahjul Balaghah, karya Al-Bahrani haL 400.

[iv] Syarah Nahjul Balaghah, karya Ibnu Abil Hadid Asy-Syii'i, Juz I hal. 332.

[v] Syarah Ibnu Abdil Hadid, juz I hal. 130. Nama lengkapnya Izzuddin Abdulhamid bin Abil Hasan bin Abil Hadid Al-Madaa'ini, penulis kitab syarah Nahjul Balaghah terdiri dari 20 juz. Ia termasuk ulama Syi'ah golongan ghulat yang ekstrim. Data tentang dirinya dapat dibaca dalam Raudhatul Jannaat juz V hal. 20 dan 30.

[vi] Talkhis Asy-Syaafi, karya Attousi juz II hal. 372 cetakan Negev.

[vii] Al-Ihtijaaj, karya At-Thobrusi.

[viii] "Firoqusy Syi'ah", karya Naubakhti, haL 41 cat. Nejev 1951.
Dan dalam Tafsir Al-Qummi, juz I, hal, 156, Nejev.

[ix] Kitab Arraudhah minal kaafi, karya Kulaini, juz VIII hal, 254.

[x] Asy-Syaafi, haL 171 cetakan Negev. Nama lengkap pengarangnya adalah Ali bin Al-Husein bin Musa yang dikenal dengan nama Sayyid Al-Murtadho dengan julukan Ilmul Huda (perintis ilmu). Lahir tahun 436 H. Ia termasuk salah satu tonggak pendiri aliran Syi'ah. Golongan Syi'ah berkelebihan menyanjungnya dan menyanjung adiknya Syarif Ridha pengarang Nahjul Balaghah. Al-Khawansari berkata : Satu-satunya ulama yang brillian di zamannya. Ia merupakan ahli ilmu kalam dan syair. Karya-karyanya tiada seorangpun yang mampu menandinginya. Antara lain Kitaab Asy-Syaafi dalam masalah imamah. Ia sepadan dengan nama bukunya. (Raudhatul Jannaat juz IV haL 295). Dalam kitab Al-Kunni Wal Al-qoob, AlQummi telah memujinya juga.

KAPANKAH FATIMAH R.A MENUNTUT TANAH FADAK ?

Kapan Fatimah menuntut tanah fadak? Mengapa Fatimah tidak menuntut tanah fadak ke Ali, khalifah yang "sah"? Pertanyaan ini ternyata sering terlewatkan dari pikiran kita.

Banyak cerita yang sering kita dengar, ternyata tidak benar. Kita mesti berpikir lagi tentang ukuran kebenaran sebuah cerita. Ternyata, ukuran bagi kebenaran sebuah cerita bukanlah dari siapa cerita itu kita dengar. Bisa jadi yang menceritakan adalah seorang ustadz yang kondang, atau buku yang dikemas sedemikian rupa agar nampak ilmiyah. Namun belum tentu cerita itu benar. Salah satunya adalah cerita pemukulan Fatimah, yang konon mengakibatkan rusuknya patah dan janinnya gugur. Kita sebut saja peristiwa ini sebagai “peristiwa tulang rusuk”.

Apakah kita masih perlu membahas peristiwa tulang rusuk? Bukankah peristiwa itu sudah terjadi di masa lalu, dan pembahasan kita hari ini tidak akan merubah peristiwa itu? Mestinya ada pertanyaan lain yang lebih mendasar, dan lebih penting untuk dipertanyakan, yaitu: apakah peristiwa tulang rusuk benar-benar terjadi? Apakah kisah itu masih relevan untuk kita bahas hari ini? Nyatanya kisah itu masih menjadi bahasan bagi syi’ah, khususnya ketika memprospek pengikut baru. Dengan tujuan untuk membunuh karakter para sahabat.

Namun jika kita sedikit menggunakan logika, dan meneliti referensi-referensi yang ada, dapat kita temukan dengan mudah kejanggalan-kejanggalan pada peristiwa tulang rusuk. Sebenarnya tidak susah untuk menemukan kejanggalan-kejanggalan ini. Pada beberapa tulisan yang lalu kita membahas peristiwa tulang rusuk ini dari sisi riwayat, yang ternyata tidak ada riwayat yang jelas mengenai detil peristiwa itu, yaitu peristiwa pembakaran rumah, pemukulan terhadap Fatimah dan gugurnya janin. Kita sampai pada kesimpulan bahwa peristiwa tulang rusuk tercantum dalam banyak riwayat yang saling kontradiktif. Namun kali ini kita akan membahas dari sisi lain, dan akan kita hubungkan dengan peristiwa fadak.

Saat Fatimah meminta haknya atas tanah fadak, dia memohonnya dari Abubakar. Pertanyaannya, apa hubungan Abubakar dengan tanah fadak? Ini yang sampai saat ini tidak jelas. Apakah Abubakar memiliki kekuasaan atas tanah fadak? Apakah Abubakar menduduki tanah fadak dan menggunakan tanah itu untuk keperluan pribadinya? Atau ada alasan lain? Mengapa Fatimah meminta fadak pada Abubakar? Riwayat-riwayat yang ada –sepanjang pengetahuan saya- tidak menjelaskan alasan Fatimah. Di sisi lain, pembaca perlu ingat bahwa Abubakar telah diangkat menjadi khalifah oleh sahabat Nabi, termasuk Ali sendiri ikut membaiat Abubakar.

Ini bisa dipahami sebagai suatu bentuk pengakuan bahwa Abubakar adalah pimpinan kaum muslimin, yang berkompeten mengurus hal ihwal kaum muslimin. Kita sendiri, jika ingin mengurus suatu urusan, menuju kantor yang berkompeten, untuk bertemu orang yang berkompeten dalam urusan kita. Kita tidak menghadap ke KUA untuk mengurus SIM. Teman-teman kita yang ingin menikah tidak akan pergi menuju kantor pajak. Pergi ke kantor pajak untuk menikah adalah perbuatan yang tidak dilakukan oleh manusia normal hari ini. Sementara Fatimah merupakan figur yang maksum –menurut syiah hari ini-, yang mencakup pengertian tidak pernah lupa, keliru, dan berbuat kesalahan. Fatimah menghadap Abubakar sebelum Ali berbaiat, karena dalam kisah disebutkan bahwa Ali –yang konon gagah berani- dipaksa dan diseret untuk berbaiat pada Abubakar. Fatimah menghadap Abubakar sebelum dirinya dipukul hingga tulang rusuknya patah, janinnya gugur dan tidak keluar rumah sampai wafatnya –menurut riwayat syiah-.

Jika memang Fatimah benar-benar maksum, terbebas dari salah dan lupa, maka tidak akan salah langkah. Pertanyaannya, mengapa Fatimah tidak menghadap Ali sebagai pemegang tampuk imamah kaum muslimin? Malah menghadap ke Abubakar yang dalam pandangan syiah adalah imam yang merampok jabatan Ali? Atau ada kemungkinan lain, yaitu Fatimah menghadap Abubakar karena tahu bahwa Ali telah berbaiat pada Abubakar, hingga Fatimah mengikuti suaminya dan mengakui Abubakar sebagai khalifah, yang juga telah dibaiat oleh imam Ali yang -konon- imam yang diberi mandat oleh Allah.

Jika memanga Ali telah berbaiat, maka untuk apa rumah Ali diserang, Fatimah dipukuli hingga tulang rusuknya patah, dan janinnya gugur? Padahal penyerangan terhadap rumah Fatimah bertujuan memaksa Ali untuk berbaiat.

Fatimah memiliki keberanian untuk menuntut haknya atas tanah fadak, atas keyakinan bahwa fadak adalah miliknya. Fatimah tidak takut persatuan kaum muslimin tidak akan goncang ketika dia menuntut tanah fadak. Namun Ali diam saja dan tidak melakukan apa-apa ketika amanat kenabian, ketika jabatan imamah dirampas oleh Abubakar. Sedangkan amanat dan wasiat Nabi sudah pasti lebih berharga dari sekedar tanah fadak. Lalu yang kita heran, mengapa Fatimah menuntut sebidang tanah, lalu tidak menggugat dan menuntut Abubakar karena merampas imamah? Apakah tanah fadak sudah sedemikian lebih berharga dibanding jabatan imamah yang diwasiatkan pada Ali

Siapa yang benar? Ali atau Fatimah?

Jika Fatimah pergi menghadap Abubakar setelah “peristiwa tulang rusuk” maka anggapan bahwa Fatimah wafat akibat tulang rusuknya patah adalah sebuah kebohongan, karena bagaimana Fatimah bisa keluar dari rumah, pergi sendirian –tanpa ditemani oleh Ali- menghadap Abubakar untuk menuntut tanah fadak, padahal tulang rusuknya patah, keguguran, dan sakit keras hingga tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumahnya sendirian, hingga Ali terpaksa menemani Fatimah di rumahnya. Sedangkan menurut syi’ah, Fatimah tidak keluar rumah setelah peristiwa tulang rusuk, karena sakit, hingga wafatnya. Ada hal lain yang perlu kita pikirkan kembali, yaitu tentang malaikat Jibril yang mengunjungi Fatimah setelah Nabi wafat.

Dari Ibnu Riab dar Abu Auabidah dari Abu Abdullah mengatakan : Fatimah hidup setelah ayahnya selama 75 hari, dengan menyimpan rasa sedih yang sangat karena ditinggal ayahnya, dan Jibril menunjungi Fatimah, menghiburnya dari kesedihan, serta memberitahukan tempat ayahnya di akherat, juga memberitahu apa yang kelak akan terjadi paa keturunannya, lalu Ali menulis semua itu, itulah mushaf fatimah. Biharul anwar jilid 22 hal 545

Sementara Kulaini meriwayatkan dari Imam As Shadiq, bahwa setelah Nabi wafat ada malaikat yang berbicara dengan Fatimah, dan menghibur kesedihannya, lalu Fatimah memberitahukan pada Ali tentang hal itu, lalu Ali berkata: jika engkau merasakan kedatangannya, dan mendengar suara, beritahukan padaku, lalu Fatimah memberitahu Ali tentang kedatangan malaikat, lalu Ali menulis seluruh apa yang didengar dari malaikat dan dijadikan sebuah mushaf, lalu berkata: di dalamnya tidak ada mengenai halal dan haram, tetapi terdapat pengetahuan tentang apa yang akan terjadi

Al Kafi jilid 1 hal 240, Bashair Darajat hal 157, Biharul Anwar jilid 26 hal 44, jilid 43 hal 80, jilid 22 hal 45. Al Majlisi menyatakan riwayat ini shahih, dalam Mir’atul Uqul jilid 3 hal 59, jilid 5 hal 314

Ini artinya Jibril datang untuk menghibur fatimah dan meringankan kesedihannya, di sini pertanyaan muncul, Apakah menghibur Fatimah lebih penting dari menjaga Fatimah, supaya janinnya tidak gugur dan tulang rusuknya tidak patah?

Pertanyaan lain, jika memang Ali menulis dialog antara malaikat Jibril dengan Fatimah, apakah Ali menuliskan wahyu dari jibril tentang peristiwa tulang rusuk dan janinnya yang gugur, serta rumahnya yang dibakar para sahabat, ataukah malaikat Jibril memang tidak memperhatikan itu semua, dan sama sekali tidak membahas peristiwa tulang rusuk?

Apakah Ali tidak menuliskan wahyu tentang dialog yang terjadi antara Fatimah dan Abubakar?

Dalam kitab Al Hujum Ala Baiti Fatimah, Abduzzahra Mahdi hal 281-282

Fatimah keluar membawa surat dari Abubakar, lalu bertemu Umar, Umar bertanya: surat apa yang engkau bawa? Jawab Fatimah: surat dari Abubakar untuk mengembalikan fadak padaku. Umar berkata : serahkan padaku, Fatimah enggan menyerahkannya, lalu ditendang oleh Umar, saat itu fatimah sedang mengandung janin laki-laki yang diberi nama muhsin, lalu janin muhsin pun gugur, Umar menampar fatmah,.. lalu Umar mengambil surat itu dan merobeknya, lalu Fatimah sakit dan tinggal di rumah akibat dipukul Umar, lalu meninggal dunia. Al Ikhtishash hal 185, Biharul Anwar jilid 29 hal 192

Riwayat ini malah mengatakan lain, yaitu Abubakar telah memberikan surat penyerahan tanah fadak pada Fatimah. Lalu mengapa Abubakar selama ini dituduh menghalangi Fatimah untuk mengambil fadak? Memang ada riwayat di shahih Bukhari yang mengatakan demikian, namun mengapa syiah lebih percaya Shahih Bukhari daripada kitabnya sendiri?

Yang jelas juga surat itu telah disobek oleh umar, setelah fatimah keluar dari tempat Abubakar, lalu Umar memukulnya hingga janinnya gugur, dan rusuknya patah. Berarti tidak ada cerita membakar dan mendobrak rumah? Lalu bagaimana? Mana yang benar?

Dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari Ibnu Abi Umair, dari Hisyam bin Salim, dari Abu Abdullah berkata: Fatimah hidup sepeninggal ayahnya selama 75 hari, tidak pernah tersenyum dan tertawa, mendatangi kubur para syuhada setiap minggu dua kali, senin dan kami, lalu berkata: di sini Rasulullah berdiri, di situ tempat kaum musyrikin. Al Kafi jilid 3 hal 229

Riwayat ini dinyatakan shahih dalam Madarikul Ahkam fi Syarhi Ibadat Syara’I’ Al islam jilid 8 hal 472-473, Muhammad bin Ali Al Musawi. Raudhatul Muttaqin Fi Syarh Man La Yahdhuruhul Faqih, jilid 5 hal 341-342, Al Majlisi Al Awwal, Muhammad Taqiy bin Maqsud Ali Al Asfahani.

Kasyful Litsam wal ibham an qawaidil ahkam jilid 6 hal 279-280, Al Fadhil Al Hindi Muhamamd bin Hasan bin Muhammad Al Asbahani.

Al Hadaiq An Nadhirah fi Ahkam Itrah Thahirah jilid 4 hal 170-171

Jawahirul kalam fi Syarhi Syara’I’ Al Islam jilid 20 hal 87-88. Muhammad bin Hasan An Najafi

Muhadzabul Ahkam fi Bayanil Halal wal Haram jilid 5 hal 212-213, Abdul A’la Al Sabzawari., jilid 15 hal 58-59

Madarikul Urwah, Al Isytahardi jilid 14 hal 71-72

Imam Maksum menyatakan bahwa Fatimah berziarah ke kuburan secara teratur selama 75 hari, pada masa sisa hidupnya setelah Nabi wafat, Fatimah tidak tersenyum dan tertawa selama itu,

Banyak pertanyaan – yang susah terjawab- muncul ketika kita menggunakan pikiran kita untuk menelaah.

Bagaimana mungkin,Fatimah yang rusuknya patah, janinnya gugur, tinggal di rumah hingga wafatnya, berziarah kubur secara teratur?

Bantuan Abu Bakar, Umar, dan Utsman Kepada Ali Ketika Menikah Dengan Fathimah

Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saling mencintai karena Allah dan dalam urusan Allah. Seorang di antara mereka senantiasa berpikir tentang kebutuhan saudaranya. Memenuhi hak dan menolong adalah sifat mereka. Akan tetapi Rafidhah tidak pernah merasa tenang melainkan dengan merusak dan mengeruhkan suasana persaudaraan yang indah di antara mereka.

Rasa cinta dan bersih hati begitu lekat dengan para sahabat Radhiallahu ‘Anhu, sehingga mereka menjadi perumpamaan yang sangat elok dan abadi. Sebut saja misalnya ketika Abu Bakar, Umar dan Utsman mereka bersama-sama membantu Ali Radhiallahu ‘Anhu dalam kesuksesan pernikahannya dengan Fathimah Radhiallahu ‘Anha. Kita memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa kitab-kitab Syi’ah telah mendokumentasikan fakta sejarah yang menakjubkan ini.

Al-Majlisi, juru bicara Syi’ah dalam soal cela mencela ini ternyata telah menguatkan hal tersebut. Dia meriwayatkan bahwa Abu Bakar bekata kepada Umar dan Sa’ad: “Ayo, mari kita pergi ke Ali ibn Abi Thalib untuk mendorongnya dan memaksanya agar meminta hal tersebut dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yakni menikahi Fathimah), jika dia enggan karena fakirnya kita membantunya untuk itu”. Sa’ad menjawab: “Hebat sekali yang engaku pikirkan”. Akhirnya mereka pergi ke rumah amirul mukminin ‘Alaihi Sallam…..tatkala mereka sampai, dia bertanya: “Apa gerangan yang membuat kalian datang kemari pada saat seperti ini”. Abu Bakar menejelaskan: “Wahai Abu Hasan, tidak ada perkara kebaikan melainkan engkau telah mendahuluinya.….lalu apakah kiranya yang menghalangimu untuk meminta dari Rasullulah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam putrinya yang bernama Fathimah?” Ketika Ali mendengar ucapan itu dari Abu Bakar air matanya berderai dan membasahi pipinya. Dia berkata: “Engkau telah merobek lukaku, engkau telah mengingatkan dan mengobarkan angan-angan dan mimpiku yang telah lama aku sembunyikan. Siapa orang yang tidak ingin mempersuntingnya? Tetapi langkahku tertahan karena kefakiranku, aku merasa malu dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika aku mengucapkannya sementara keadaanku seperti ini?”[1]

Maka Abu Bakar dan Umar mengupayakan pernikahannya, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyetujui perkawinan ini. Di sini Utsman tidak mau ketinggalan, ia ingin ikut berperan dalam pernikahan ini karena mereka semua adalah bersaudara yang saling mencintai dan mengasihi. Ali menceritakan peristiwanya sendiri: “Ketika aku menghadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk meminang Fathimah beliau berkata, “Juallah baju besimu dan bawalah kemari uangnya, supaya aku bisa menyiapkan untukmu dan untuk putriku Fathimah apa yang membuat kalian bahagia.” Ali berkata: “Aku ambil baju besiku, aku bawa ke pasar dan aku menjualnya dengan harga 400 dirham hajariyah yang hitam kepada Utsman ibn Affan. Setelah uangnya aku pegang dan baju besiku dipegang olehnya dia berkata, “Hai Abul Hasan! Bukankah sekarang aku lebih berhak dengan baju besi ini dari pada dirimu dan engkau lebih berhak dengan uang itu dari pada diriku?” Aku berkata: Ya. Dia berkata, “Sesungguhnya baju besi ini hadiah dariku untukmu.” Lalu aku ambil baju dan uangnya, langsung menuju Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sesampainya di sana aku letakkan baju dan uangnya di hadapan beliau, lalu aku ceritakan kebaikan Utsman, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendo’akannya dengan kebaikan”.[2] Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerima uang dirham itu dengan kedua tangannya dan diberikannya kepada Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu dengan mengatakan: “Belikan untuk Fathimah apa yang membuatnya baik, dari pakaian dan perabotan rumah.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyertakan Ammar ibn Yasir dan beberapa sahabatnya untuk menemani Abu Bakar. Di pasar mereka menawar hal-hal yang bagus dan mereka tidak membelinya melainkan setelah menyodorkannya kepada Abu Bakar dan Abu Bakar menganggapnya bagus….setelah pembelian selesai, Abu Bakar membawa sebagian barang dan sisanya dibawa oleh para sahabat lain yang bersamanya”.[3]

Bahkan tidak berhenti sampai di sini. Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiallahu ‘Anhu menjadi saksi dalam pernikahan yang diberkahi ini. Anas Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Saya berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian beliau didatangi wahyu, setelah beliau selesai menerima wahyu beliau berkata kepadaku, “Ya Anas! Apakah engkau mengerti apa yang dibawa kepadaku oleh Jibril ‘Alaihi Sallam dari Pemilik Arsy?” Saya berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Saya diperintahkan untuk menikahkan Fathimah dengan Ali. Pergilah dan panggillah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, az-Zubair dan sebanyak bilangan mereka dari kaum Anshar.”

Anas berkata: “Maka saya berangkat mengundang mereka untuk Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tatkala mereka duduk di majlis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata –setelah bertahmid kepada Allah- : “Kemudian sesungguhnya aku mempersaksikan kepada kalian bahwa aku telah mengawinkan Fathimah dengan Ali dengan mahar 400 dirham, satu mitsqal perak”.[4]

Apakah kiranya yang akan diucapkan oleh mereka?

Sepertinya kita tidak mendengar suara kalian sama sekali!

Kemudian inilah kalian telah mengakui bahwa pernikahan Fathimah dengan Ali adalah dengan berdasarkan dari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah telah memilih Ali untuk Fathimah, yang dia itu putri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu bagaimana dengan Nabi sendiri yang diutus oleh Allah, bukankah Allah yang telah memilihkan untuknya istri-istrinya?

Bagaiamana kalian mengakui adanya perintah Allah dalam pernikahan Ali dengan Fathimah sementara kalian mengingkari pernikahan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan putri Abu Bakar, Aisyah Radhiallahu ‘Anha. Padahal hal itu adalah perintah dan pilihan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala!

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum, sehingga mereka berusaha mengubah apa yang ada pada mereka.”
==========================================================

[1] Jala’ al-‘Uyun. Jilid I. Hal 169. Cet Kitab Furusyi Islamiyah. Teheran.

[2] Al-Manaqib. Al-Khawarizmi. Hal 235-252. Cet Najef; Kasyf al-Ghummah. Jilid I. Hal 359; Bihar al-Anwar. Hal 39, 40. Cet Teheran.

[3] Al-Amali. Jilid I. Hal 39; Al-Manaqib. Al-Mazindani. Jilid II. Hal 20. Cet India; Jala’ al-‘Uyun. Jilid I. Hal 176.

[4] Kasyf al-Ghummah. Jild I. Hal 348. Cet. Tibriz; Bihar al-Anwar. Jilid I. Hal 47-48.